Survey Karakter dan Kontrol Diri

Oleh: Nelson Sihaloho

Rasional:

Karakter merupakan fondasi dari soft skill yang justru lebih mendukung tingkat kesuksesan seseorang dalam hidupnya. Kemampuan teknis hebat apabila tidak diiringi dengan karakter yang baik adalah percuma. Ia tidak akan mampu bekerja sama dan berempati kepada rekannya. Selain itu, penggunaan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh karakter yang tidak baik akan menghadirkan konsekuensi yang buruk pula. Saat kita tidak bisa mengelola emosi, maka apapun bisa dilakukan, bahkan hal yang merugikan atau memalukan sekalipun. Banyak kalangan mengataan bahwa apabila seorang yang dipercaya menjadi Pemimpin apabila kurang cermat dalam mengontrol perilaku dirinya cenderung melakukan penyimpangan-penyimpangan. Behotu juga dengan peserta didik pada tahun 2021 dengan diberlakukannya assesmen kompetensi minimum dan survey karakter maka sistem pendidikan kita memasuki babak baru. Dalam kaitan ini peserta didik sudah sejak dini harus melalukan control diri (self control) serta meningkatkan jati dirinya menjadi insan-insan yang berkarakter. Kontrol diri merupakan kemampuan atau kecakapan seseorang dalam mengendalikan tingkah laku dengan cara menahan, menekan, mengatur atau mengarahkan dorongan keinginan dengan berbagai pertimbangan agar pengambilan keputusan yang salah dapat dihindarkan. Semakin tinggi tingkat kontrol diri seseorang, maka semakin kuat pengendalian tingkah laku yang bertentangan dengan norma sosial sehingga membawa seseorang ke perilaku yang positif. Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya. Kontrol diri identic sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku serta berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dorongan dari dalam dirinya.

Self-Control

Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam mengahadapi kondisi yang terdapat dilingkungan sekitarnya. Mengutip pendapat Wolfe & Higgins,(2008), mengemukakan bahwa self-control merupakan kecenderungan individu untuk mempertimbangkan berbagai konsekuensi untuk perilaku. Self-control dikatakan sebagai kemampuan manusia untuk menahan dan mengendalikan perilaku sosial yang tidak pantas (De Wall, Baumeister, Stillman, &Gailiot, 2005).

Kontroldiri diperlukan guna membantu individu dalam mengatasi kemampuannya yang terbatas dan mengatasi berbagai hal yang merugikan, yang mungkin terjadi yang berasal dari luar.

Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dorongan dari dalam dirinya. Ada dua kriteria yang menentukan, apakah kontrol emosi dapat diterima secara sosial atau tidak. Tidak mengherankan bahwa apabila kontrol diri dianggap sebagai suatu keterampilan berharga (Ghuffron&Rini, 2010:21-23). Messina & Messina (dalam Singgih D. Gunarsa, 2009), menyatakan bahwa pengendalian diri atau self-control, adalah seperangkat tingkah laku yang berfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, keberhasilan menangkal peng-rusakan diri (self-destructive), perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri (autonomy), atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan perasaan dan pikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang terfokus pada tanggung jawab atas diri pribadi. Menurut Skiner sebagaimana dikutip Alwisol, (2009) menyatajan bahwa kontrol diri merupakan tindakan diri dalam mengontrol variabel-variabel luar yang menentukan tingkah laku. Dan tingkah laku dapat dikontrol melalui berbagai cara yaitu menghindar, penjenuhan, stimuli yang tidak disukai, dan memperkuat diri. Sedangkan Chaplin (2011), menyatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri dalam artian kemampuan seseorang untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impuls.

Kontrol diri ini menyangkut seberapa kuat seseorang memegang nilai dan kepercayaan untuk dijadikan acuan ketika bertindak atau mengambil suatu keputusan.

Thompson (dalam Smet, 1994 :95) menyatakan bahwa ciri-ciri kontrol diri antara lain yakni pertama, kemampuan untuk mengontrol perilaku atau tingkah laku impulsif yang ditandai dengan kemampuan menghadapi stimulus yang tidak diinginkan dengan cara mencegah menjauhi stimulus,merapatkan tenggang waktu diantara stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum berakhir dan membatasi intensitas stimulus, kemampuan membuat perencanaan dalam hidup, mampu mengatasi frustasi dan ledakan emosi serta kemampuan untuk menentukan siapa yang mengendalikan perilaku, dalam hal ini bila individu tidak mampu mengontrol dirinya sendiri, maka individu menggunakan faktor eksternal.

Ke dua, kemampuan menunda kepuasan dengan segera untuk keberhasilan mengatur perilaku dalam mencapai sesuatu yang lebih berharga atau diterima dalam masyarakat.

Ke tiga, kemampuan mengantisipasi peristiwa yaitu kemampuan untuk mengantisipasi keadaan melalui berbagai pertimbangan secara relatif obyektif. Hal ini didukung dengan adanya informasi yang dimiliki individu.

Kemampuan menafsirkan peristiwa yaitu kemampuan untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subyektif.

Kemampuanmengontrol keputusan yaitu kemampuan untuk memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya (Shohib, 2007:44).

Mengutip Calhoun & Acocella (1990), menyatakan terdapat tiga aspek kontrol diri. Pertama kontrol perilaku (behavior control). Merupakan kesiapan atau kemampuan seseorang untuk memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.

Kemampuan mengontrol perilaku dalam hal ini berupa kemampuan untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi, dirinya sendiri, orang lain, atau sesuatu di luar dirinya.

Ke dua, kontrol kognitif (cognitive control). Kemampuan individu utuk mengelola informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau memadukan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan.

Ke tiga, kontrol dalam mengambil keputusan (decision making). Kemampuan untuk memilih suatu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini atau disetujui.

Berkaitan dengan hal tersebut Tangney, dkk (2004) menyatakan terdapat lima dimensi kontrol diri. Yakni, disiplin diri (self-dicipline). Disiplin diri yaitu mengacu pada kemampuan individu dalam melakukan disiplin diri seperti tindakan mengikuti peraturan yang ada di lingkungan sosialnya. Kemudian, tindakan atau aksi yang tidak impulsif (deliberate/non-impulsive).

Menilai tentang kecenderungan individu untuk melakukan tindakan yang tidak impulsif (memberikan respon kepada stimulus dengan pemikiran yang matang). Selanjutnya adalah kebiasaan baik (healthy habits). Kebiasaan baik merupakan kemampuan individu dalam mengatur pola perilaku menjadi sebuah kebiasaan yang pada akhirnya menyehatkan. Biasanya individu yang memiliki kebiasaan baik akan menolak sesuatu yang dapat menimbulkan dampak buruk walaupun hal tersebut menyenangkan baginya. Etika kerja (work etic).

Etika kerja berkaitan dengan penilaian individu terhadap regulasi dirinya dalam layanan etika kerja. Biasanya individu mampu memberikan perhatian penuh pada pekerjaan yang dilakukan. kemampuan mengatur diri individu tersebut di dalam layanan etika. Terakhir adalah keterandalan atau keajegan (reliability). Keterandalan atau keajegan merupakan dimensi yang terkait dengan penilaian individu terhadap kemampuan dirinya dalam pelaksanaan rancangan jangka panjang untuk pencapaian tertentu. Biasanya individu secara konsisten akan mengatur perilaku untuk mewujudkan setiap perencanaannya.

Gufron & Risnawati (2011), mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis kontrol diri. Yakni, over control. Yaitu kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri beraksi terhadap stimulus. Under control, yaitu suatu kecenderungan individu untuk melepaskan implus dengan bebas tanpa perhitungan yang matang. Appropriate control, yaitu kontrol individu dalam upaya mengendalikan implus secara tepat. Ciri-ciri seseorang yang memiliki kontrol diri yaitu kemampuan untuk mengontrol perilaku atau tingkah laku impulsif yang ditandai dengan kemampuan menghadapi stimulus yang tidak diinginkan.

Kemampuan menunda kepuasan dengan segera untuk keberhasilan mengatur perilaku dalam mencapai sesuatu yang lebih berharga atau diterima dalam masyarakat. Kemampuan mengantisipasi peristiwa yaitu kemampuan untuk mengantisipasi keadaan melalui berbagai pertimbangan secara relatif obyektif. Hal ini didukung dengan adanya informasi yang dimiliki individu.

Survey Karakter
Pendidikan karakter sering diartikan berbagai upaya untuk mengarahkan, melatih, memupuk nilai-nilai yang baik agar menumbuhkan kepribadian yang baik, bijak, sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap lingkungan dan masyarakat luas. Megawangi (dalam Kesuma, 2013:5) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah usaha sadar untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan yang bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat memberikan kontribusi positif terhadap lingkungannya. Pendapat ahli lain Wynne (dalam Mulyasa, 2012: 3) menjelaskan bahwa kata “character” (“karakter”dalam bahasa Indonesia) berasal dari bahasa Yunani yaitu, kharaktēr/ eharassein yang berarti “to mark” atau “to engrave) (menandai/mengukir).

Tentunya, “menandai” atau “mengukir” tidak dimaknai sebatas harfiah saja. Jika diinterpretasikan, hal tersebut dapat berarti mengukir nilai-nilai positif baik dalam konsepsi dan tindakan nyata dalam perilaku sehari-hari. Adapun Salahudin dan Alkrienciechie (2013: 42) berpendapat bahwa karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Samani dan Hariyanto (2013:41) sebagai sesuatu yang khas dari seseorang sebagai cara berfikir dan perilaku untuk hidup dan bekerjasama dalam hubungannya dengan sesama yang dapat membuat keputusan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dapat disimpulkan bawa karakter adalah sifat, persepsi, baik-buruk seseorang dalam menerapkan etika nilai, moral, emosi dan berbagai kemampuan kejiwaan lain yang tercermin melalui perilakunya baik. Karakter dapat juga didefinisikan sebagai nilai dasar yang tertanam dan yang dimiliki oleh individu sebagai fondasi diri untuk berbuat baik, sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Sejakdi-launching ke public, hingga saat ini, publik belum memperoleh penjelasan yang detail tentang kebijakan survey karakter. Bisa jadi sedang disiapkan regulasi menyeluruh berkaitan dengan survey karakter. Banyak kalangan masih bingung dengan survey karakter yang bagaimana kelak diterapkan sebagai salah satu penilaian pengganti UN pada tahun 2021. Sebagai gambaran saja bahwa survey karakter adalah upaya untuk mengetahui kondisi ekosistem karakter para peserta didik di sekolah terkait apakah azas Pancasila benar-benar dirasakan para peserta didik dalam interaksi di sekolah. Upaya untuk mengetahui bagaimana salah satu nilai inti dari pancasila yakni gotong royong diimplementasikan dalam interaksi antar siswa di sekolah? Bagaimana level toleransi anntar peserta didik dalam interaksi antara siswa di sekolah.

Upaya untuk mengetahui apakah para siswa bahagia dalam menjalani keseharian mereka di sekolah? Apakah bullying terjadi antara siswa dalam pergaulan mereka di sekolah? Informasi dari berbagai sumber mengungkapkan babwa survey karakter dilakukan bukan dalam bentuk tes yang harus dikerjakan oleh para siswa.

Para siswa menjawab sejumlah pertanyaan yang sifatnya personal, terkait opini siswa mengenai topik seperti gotong royong, Bhinneka Tunggal Ika. Untuk survey akan didisain alat ukur oleh pihak berkompeten yang sulit diakali oleh siswa sehingga hasil dari survey tersebut dapat menggambarkan potret sesungguhnya dari karakter para siswa di sekolah, dalam waktu tertentu. Bahkan, hasil survey ini tidak digunakan untuk menilai murid sebagai individu, tetapi untuk menilai keberhasilan sekolah dalam pengembangan karakter.

Survey tersebut akan diikuti oleh siswa pada pertengahan level yakni siswa SD kelas IV, siswa SMP kelas VIII, dan siswa SMA/SMK kelas XI. Survey tersebut dilakukan di tengah level agar sekolah dan pemerintah masih memiliki waktu untuk mendisain program pengembangan dan perbaikan lebih lanjut, bertolak dari hasil survey tersebut. Bahkan hingga kini pihak publik menunggu regulasi lanjutan dari kebijakan tersebut.

Mudah-mudahan dengan implementasi yang konsisten, upaya Survey Karakter ini dan tindak lanjutnya, memberi efek positif terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut semua pihak perlu memahami dengan cermat tentang program penguatan pendidikan karakter (P3K). Asesmen yang dilakukan tidak berdasarkan mata pelajaran atau penguasaan materi kurikulum sebagaimana selama ini diterapkan dalam UN, melainkan melakukan pemetaan terhadap dua kompetensi minimum siswa, yakni dalam hal literasi dan numerasi.

Literasi dan numerasi yang dimaksud sendiri hendaknya dimaknai sebagai lintas mata pelajaran. Literasi dan numerasi intinya adalah bagaimana memaknai informasi yang bermacam-macam.

Karakter Kunci Keberhasilan

Membangun karakter peserta didik tidak semudah membalikkan telapak tangan bahkan membutuhkan proses dan waktu yang panjang untuk mengubahnya. Pendidikan di sekolah merupakan rumah ke dua bagi anak dalam mengembangkan karakter. Untuk itu diperlukan sinergi antara orang tua dan sekolah untuk menjadikan peserta didkk yang berkarakter. Banyak kalangan menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah hal yang paling krusial dalam dunia pendidikan. Pendidikan sebagai pilar yang paling menentukan apakah pendidikan dapat bermanfaat atau justru menjadi malapetaka bagi umat manusia. Hal yang paling ditakuti guru bukanlah siswa yang tidak mampu mengikuti pelajaran matematika atau pelajaran rumit lainnya. Mengutip Lickona dan Amirulloh (2015:14-18) karakter setidaknya terdiri dari tiga ranah yang saling berhubungan, yakni: pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral yang disebut dengan sistem karakter. Pengetahuan moral adalah kemampuan individu untuk mengetahui, memahami, mempertimbangkan, membedakan, menginterpretasikan macam-macam moral yang harus diterapkan dan yang harus ditanggalkan. Pengetahuan moral terdiri dari enam komponen.

Pertama, kesadaran moral, merupakan kesadaran untuk memperhatikan dan melaksanakan moral yang ada di sekitarnya.

Ke dua, pengetahuan nilai moral, kemampuan untuk memahami nilai moral dalam berbagai situasi.

Ketiga, memahami sudut pandang lain, adalah kemampuan untuk menghargai dan merasakan pendapat orang lain.

Keempat, penalaran moral, kemampuan untuk memahami, mempertimbangkan dan membedakan makna bermoral.

Kelima, keberanian mengambil keputusan, yaitu kemampuan untuk tidak ragu menentukan pilihan yang tepat saat mengalami dilema moral.

Keenam, pengenalan diri (self knowledge), mampu mengetahui dan memahami perilaku sendiri serta dapat mengevaluasinya dengan jujur.
Kemudian, perasaan moral (moral feeling) adalah kemampuan untuk merasa harus selalu melakukan tindakan moral yang sesuai dengan norma dan merasa bersalah jika melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma (berbuat jahat). Perasaan ini juga terdiri dari enam komponen, yaitu mendengarkan hati nurani, harga diri ( self esteem) , harga diri (self esteem), empati, cinta kebaikan, kontrol diri serta rendah hati (humility). Tindakan moral adalah mampu bergerak dan melakukan tindakan nyata moral yang sesuai dengan norma, hingga mencegah perbuatan yang tidak sesuai dengan norma kebaikan lingkungan.

Tindakan moral terdiri menjadi tiga komponen utama, yakni kompetensi (competence), merupakan kemampuan untuk mengubah perasaan moral menjadi tindakan moral yang efektif. Keinginan (will), kemampuan untuk kuat dan bertahan melakukan apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan pengetahuan dan perasaan moral. Kebiasaan, adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu secara konsisten dan berulang-ulang hingga telah terbiasa dan terasa lebih ringan untuk dilakukan secara terus-menerus.

Dengan demikian tujuan pendidikan karakter adalah mengembangkan potensi nurani/kalbu/afektif peserta didik sebagai warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Mengembangkan kebiasaan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan denan nilai universal dan tradisi bangsa yang religius.

Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai penerus bangsa. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan.

Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan aman, jujur, kreatif dan bersahabat. Dengan demikian survey karakter yang dilakukan terhadap peserta didik atatupun siapa saja berkaitan ert dengan control diri pribadi seseorang. Survey karakter bisa dilakukan dengan kapan saja tergantung pada kebutuhan. Bisa juga dilakukan dengan insidentil sesuai kebutuhan para penggunanya atau yang memerlukannya. Bisa juga dilakaukan untuk mendeteksi sejak dini bentuk-bentuk penyimpangan perilaku atau ketidaksesuaian yang dilakukan seseorang dengan karakternya. Semoga bermanfaat.

(Penulis: Guru SMPN 11 Kota Jambi).

Rujukan
1. Amirulloh. (2015). Teori Pendidikan Karakter Remaja. Bandung: Alfabeta.
2. Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
3. Gufron, M.N., & Risnawati, Rini. 2010. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
4. Muhamimin Azzet, Akhmad. (2014). Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia: Revitalisasi Pendidikan Karakter terhadap Keberhasilan Belajar dan Kemajuan Bangsa. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
5. Mulyasa, H.E. (2012). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
6. Salahudin, Anas & Alkrienciechie, Irwanto. (2013). Pendidikan Karakter (Pendidikan Berbasis Agama Dan Budaya Bangsa). Bandung: Pustaka Setia.
7. Samani, Muchlas & Hariyanto. (2013). Konsep Dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Facebook Comments

ADVERTISEMENT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *