Kurikulum Prototipe dan Keberpihakan Pada Otonomi Guru

Oleh: Nelson Sihaloho

 

Ebstrak:

Pendidikan merupakan kebutuhan investasi kemanusiaan (human investment) dan memerlukan proses panjang untuk mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM bermutu serta berdaya saing, baik di tingkat nasional dan internasional ditentukan serta dipengaruhi oleh mutu pendidikan terutama guru.

Banyak kalangan menyatakan bahwa Guru profesional bisa dibentuk dari proses seleksi yang ketat. Pendidikan guru yang kuat dalam pendidikan, pelatihan, dan penelitian diharapkan mampu mencetak guru profesional. Begirtu juga dengan melakukan penilaian terhadap peserta didiknya, Guru memiliki otonomi menilai serta mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Begitu juga dengan kurikulum terus dilakukan perubahan seiring dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) telah menetapkan Kurikulum Prototipe sebagai salah satu opsi kurikulum terhadap sekolah sebelum diberlakukan secara nasional pada tahun 2024. Kurikulum baru itu disebut memberi otonomi lebih pada guru lewat fleksibilitas dan pembelajaran yang tidak padat materi. Akankah Kurikulum Prototipe memberikan kontribusi keberpihakannya pada otonomi guru?. Akankah otonomi yang lebih diberikan terhadap guru mampu meningkatkan mutu serta kualitas pendidikan kita di masa depan.

Tulisan ini menarik untuk dikaji dan dianalisis dari berbagai perubahan kurikulum serta menghadapi era masa depan.
Kata kunci: kurikulum prototype, otonomi guru

Kurikulum Prototipe dan Semangat Kolaborasi

Mulai tahun 2022 hingga 2024, Kemendikbudristek memberikan tiga opsi kurikulum yang dapat diterapkan satuan pendidikan dalam pembelajaran. Yakni kurikulum 2013, kurikulum darurat, dan kurikulum prototipe. Sebagaimana diketahui bahwa kurikulum darurat merupakan penyederhanaan dari kurikulum 2013 yang mulai diterapkan pada tahun 2020 saat pandemi Covid-19. Sedangkan kurikulum prototipe merupakan kurikulum berbasis kompetensi untuk mendukung pemulihan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning/PBL).

Pusat Perbukuan Kemendikbudristek (2021), mengatakan saat ini kurikulum prototipe sudah diterapkan di 2.500 satuan pendidikan yang tergabung dalam program Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan pada tahun 2021. Namun mulai tahun 2022, satuan pendidikan yang tidak termasuk sekolah penggerak pun diberikan opsi untuk dapat menerapkan kurikulum prototipe.  Sekolah-sekolah dapat menggunakan kurikulum prototipe dengan cara sukarela tanpa seleksi. Informasinya bahwa pada tahun 2024 Kemendikbudristek akan menetapkan kebijakan mengenai kurikulum mana yang akan dijadikan kurikulum nasional untuk pemulihan pembelajaran. Salah satu karakteristik kurikulum prototipe adalah menerapkan pembelajaran berbasis proyek untuk mendukung pengembangan karakter sesuai dengan profil pelajar pancasila.

Dalam kurikulum prototipe, sekolah diberikan keleluasaan dan kemerdekaan untuk memberikan proyek-proyek pembelajaran yang relevan dan dekat dengan lingkungan sekolah.  Pembelajaran berbasis proyek dianggap penting untuk pengembangan karakter siswa karena memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui pengalaman (experiential learning). Fakta dilapangan banyak guru yang selama mengajar hingga pensiun hanya mengandalkan acuan atau contoh yang sudah ada. Banyak pula guru tidak berani menuangkan kreativitas dengan pemikiran takut menyalahi aturan dan tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Pembelajaran berbasis proyek merupakan salah satu alternative pengembangan soft skill peserta didik sehingga mencerminkan profil pelajar Pancasila. Yakni sosok pelajar yang (1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) berkebhinekaan global; (3) bergotong royong; (4) kreatif; (5) bernalar kritis; dan (6) mandiri. Implikasi dan implementasinya bahwa pelaksanaan pembelajaran proyek dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Adar strategi pembelajaran berbasis proyek dapat diterapkan maka kegiatan proyek harus dilaksanakan dengan cara kolaboratif tematik antar mata pelajaran.

Cara praktis dapat dilakukan oleh guru dengan berbagai cara. Diantaranya mendiskusikan capaian pembelajaran. Guru berbeda mata pelajaran melakukan brainstorming tentang capaian pembelajaran agar ditemukan benang merah antar mata pelajaran sebagai dasar penentuan tema. Guru menentukan tema. Guru berdiskusi memilih tema yang sesuai dan mendukung capaian pembelajaran masing-masing mata pelajaran. Terakhir adalah menentukan proyek.

Guru menyepakati satu proyek berdasar tema yang telah ditetapkan dengan menentukan jadwal pelaksanaan, pembagian tugas, dan strategi pembelajarannya dengan mengacu konsep MIKiR atau Mengalami, Interaksi, Komunikasi, Refleksi. Contoh kecil dalam penelitian khususnya Olyimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) judulnya ditentukan bersama antara siswa dan guru. Ide-ide penelitian harus murni muncul dari siswa selanjutnya didiskusikan serta dilakukan bertahap sesuai prosedur-prosedur penelitian. Judul penelitian yang telah ditetapkan bersama harus diselesaikan sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditetapkan. Hasil-hasil kerja serta karya penelitian siswa umumnya banyak memberikan kontribusi besar terahadap pengembangan karakter siswa serta kemampuan memecahkan masalah dalam kehiduan sehari-hari juga tinggi serta dapat diandalkan. Karena itu Guru yang selama ini bekerja sendiri di kelasnya masing-masing harus memiliki keterbukaan untuk berkolaborasi dengan guru lain.

Kesediaan kolaborasi ini ditentukan juga oleh kemampuan kerjasama, pemikiran terbuka untuk menerima kritik dan saran. Termasuk kesediaan berbagi pengalaman serta curah pendapat mengenai permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran agar ditemukan solusi bersama. Kolaborasi dilakukan dengan pengembangan perangkat pembelajaran bersama, pelaksanaan pembelajaran hingga pelaksanaan evaluasinya.

 

pendapat Widiastuti & Sagoro (2020) serta Tsybulsky & Muchnik-Rozanov (2019), menyatakan pembelajaran proyek tematik kolaboratif antar mata pelajaran memiliki keunggulan dari sisi peserta didik. Yakni menumbuhkan keterampilan pemecahan masalah kompleks, kolaborasi, komunikasi.

Mendukung Pengembangan Kreatifitas Guru

Otonomi merupakan sebuah istilah yang dapat diartikan berarti bahwa seseorang mempunyai kewenangan dan kebebasan bertindak dan melakukan sesuatu. Pemberian otonomi dalam dunia pendidikan memerlukan banyak guru yang kreatif karena free will dalam pekerjaannya. Hal paling utama harus dan ditanamkan pada diri seorang guru adalah pentingnya memberi kepercayaan pada orang lain.

 

Pihak-pihak dalam lingkungan sekolah harus percaya bahwa seorang guru ialah seorang profesional yang di-training khusus untuk menghadapi segala tantangan di bidangnya. Itulah sebabnya Kemdibud Ristek tersu memperluas pengembangan gerak guru dalam bekerja. Salah satu contoh adalah melakukan riset di sekolah dengan melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Hasil PTK guru juga wajib diseminarkan minimal dihadiri oleh 15 orang dari 3 sekolah berbeda dengan rum;un mata pelajaran yang sama. Sisanya boleh dari sekolah guru bertugas agar memberikan keleluasaan dalam pengembangan karirnya. Guru harus menjadi periset aktif meningkatkan penegtahuannya untuk melengkapi informasi keilmuannya. Beberapa metode aplikatif di kelas yang bisa dilakukan oleh guru yakni penelitian tindakan kelas, penelitian survei, kasus dan lain sebagainya.
Mengurip Purwoko (2010) mengatakan para guru harus mulai mengamati dan meneliti dan akhirnya melaporkannya dalam bentuk publikasi agar profesionalitas para guru terus berkembang dan fenomena kegiatan kelas yang sayang untuk diabaikan itu semakin terekspos dan terang benderang sehingga pengetahuan berkembang pesat.

 

Tema-tema yang dilengkapi strategi-aplikatif serta bisa dilakukan guru dan siswa di ruang kelas sebagaimana disarankan oleh Silberman (2006) dalam bukunya Active Learning. Adalah independensi yang membuat setiap profesi itu mampu mengeluarkan seluruh potensinya. Dengan kebebasan, setiap individu mampu memaksimalkan dan berimprovisasi untuk memberikan segalanya dalam pekerjaannya. Yang bersangkutan akan merasa sangat dihargai karena dipercaya dan diberikan keleluasaan bertindak. Selain itu, ada hubungan yang saling memengaruhi antara otonomi dan kompetensi seseorang. Intinya apabila otonomi seseorang ditambah, secara signifikan tingkat kompetensinya membaik. Demikian juga, apabila otonominya dikurangi, secara signifikan tingkat kompetensinya berkurang. Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kompetensi seseorang ialah meningkatkan otonomi di bidang kerjanya.

 

Karena itu apabila guru hanya menjalankan teknis yang telah dibuat orang lain serta dituangkan dalam kurikulum, dengan demikian pendidikan ibarat pekerjaan pengrajin, menginstrumentalisasi situasi pendidikan ke sarana teknis belaka dan mengabaikan keterbukaan esensial dari situasi dan transitivitas hubungan manusia antara guru dan siswa. Dengan otonomi dan tanggung jawab profesional yang lebih luas mengharuskan guru untuk membangun teori pendidikan melalui refleksi kritis atas pengetahuan praktis mereka sendiri.

 

Guru harus diberikan kebebasan dalam menginterpretasi kurikulum. Guru fleksibel berkreasi dan berkontribusi terhadap kurikulum. Guru adalah co-creator kurikulum. Karena itu guru tidak boleh diposisikan sekadar mentransformasikan pengetahuan terhadap siswa di dalam kelas. Guru harus terlibat dalam penelitian atau merumuskan teori pendidikan sehingga tidak ada distorsi antara teori dan praktik.

Guru merupakan jantung sekolah dan tanpa guru, sekolah tidak akan pernah memiliki kekuatan untuk mengembangkan dan melaksanakan visinya. Sebagaimana Aoki, (2002) mendefinisikan otonomi guru sebagai kapasitas, kebebasan, dan tanggung jawab untuk mengendalikan pengajarannya sendiri. Adapun Huang (2005) memandang otonomi guru sebagai kesediaan guru untuk mengendalikan pengajaran dan pembelajaran mereka sendiri. Hak otonomi guru yakni sebagai perencanaan, melaksanakan kegiatan profesional mereka dalam batasan tertentu, membuat preferensi dalam hal organisasi lingkungan kerja dan berpartisipasi dalam proses administrasi (Pearson & Moowaw., 2005). Hak otonomi guru yakni sebagai perencanaan, melaksanakan kegiatan profesional mereka dalam batasan tertentu, membuat preferensi dalam hal organisasi lingkungan kerja dan berpartisipasi dalam proses administrasi (Pearson & Moowaw., 2005). Merujuk pendapat Blase & Kirby, (2009) menyatakan penelitian mengklaim bahwa otonomi guru adalah salah satu kondisi di tempat kerja yang disyaratkan oleh guru. Pemberberdayaan guru yang tepat, akan berdampak pada kinerja, sekolah maupun hasil belajar siswa. Begitu juga dengan Yan, (2010) menyatakan bahawa otonomi guru untuk mengelola lingkungan yang kondusif bagi peserta didik sehingga peserta didik dapat memperoleh dan mempraktikkan pengetahuan secara mandiri. Namun, kebebasan dapat diberikan kepada guru dalam membuat keputusan yang terkait langsung dengan proses pengajaran. Kebebasan yang diberikan kepada guru ini diklasifikasikan secara berbeda dalam literature adalah instruksi perencanaan dan implementasi (Friedman., 1999; Pearson & Hall., 1993; White., 1992) berpartisipasi dalam proses pelayanan terhadap siswa (Friedman., 1999; Ingersoll., 2007) dan mengembangkan kapasitas dan keterampilan professional yaitu pengembangan profesional (Wardani., 2012). Strong. (2012) menyoroti fakta bahwa pengambilan keputusan mencakup keterlibatan guru dalam keputusan pendidikan terkait kurikulum, pedagogi, program pelatihan, masalah keuangan, dan lain-lain. Studi tentang otonomi guru telah dilakukan di banyak daerah.

 

Fachrurrazi. (2017) melihat hubungan antara Kompetensi Profesional Guru dan Otonomi Kerja Guru di Aceh. Terdapat korelasi sedang dan positif antara otonomi kerja guru dan kompetensi profesional guru berdasarkan apa yang ditemukan Fachrurrazi. Ketika otonomi guru meningkat, tingkat kompetensi profesional guru juga meningkat, dan sebaliknya. Adapun Sumardjoko. (2018) memandang otonomi guru sebagai pengembangan profesional mandiri dan kebebasan kontrol oleh orang lain.

Transformasi Pendidikan Era Digital

Dalam pendidikan era Society dan era digital semakin kompelkas dan beragam tantangan yang dihadapi oleh pendidikan kita. Tidak cukup hanya menyiapkan sistem pembelajaran abad 21 namun perubahan teknologi yang semakin cepat dan dinamis perlu disikapi dan diantisipasi dengan cermat. Empat pilar literasi digital perlu dicermati yakni digital culture, digital ethic, digital skill, digital safety.  Sebagaimana kita ketahui bahwa teknologi informasi semakin banyak memberikan peluang positif dalam proses pembelajaran.  Kegiatan belajar mengajar tidak lagi hanya terbatas pada konteks ruang kelas, akan tetapi di era digital kegiatan pembelajaran juga dapat dilakukan dengan cara virtual. Di era digital semua informasi yang tersaji dalam satu ruang tanpa batas, maka penting bagi sekolah untuk mampu menyaring informasi agar pembelajaran terhadap peserta didik terarah. Tranformasi pendidikan ke ranah digital harus memperhatikan sisi keamanan (safety) dan Guru wajib mengedukasi anak didik supaya aman dengan melindungi diri di dunia digital. Semakin banyak aplikasi digital learning juga bisa dimanfaatkan oleh guru dalam mendukung bentuk pembelajaran lainnya baik daring maupun luring. Dengan demikian maka dengan transformasi akan menggeser posisi guru menjadi fasilitator dalam proses pembelajaran.

 

Keterampilan atau kecakapan yang diperlukan dalam pendidikan hari ini adalah keep educating yourself dengan memanfaatkan teknologi informasi. Guru wajib memotivasi peserta didik dalam mengasah keterampilan berpikir kritis ketika memilih dan memilah informasi yang mereka butuhkan. Selain out mampu menuntaskan aktifitas dan interaksi di dunia digital untuk memudahkan dan memperlancar proses pembelajaran. Karena itu kurikulum prototype yang akan diberlakukan skala nasional tahun 2024 hendaknya semakin membuka keran keberpihakan terhadap profesionalisme otonomi guru. Membelenggu guru dengan berbagai bentuk kurikulum sebagaimana yang terjadi sebelumnya akan semakin menghambat produktifitas dalam meningkatkan mutu serta kualitas pendidikan.

 

Otonomi guru dalam menjalankan tugas-tugas profesionalisme selain akan memberdayakan guru tidak menutup kemungkinan akan melahirkan karya-karya inovatif bermutu tinggi. Memberdayakan guru dalam melakukan Penelitian Tindakan Kelas dan melakukan riset akan memberikan kontribusi signifikan terhadap penyelesaian masalah-masalah yang muncul dalam pendidikan khususnya dalam pembelajaran. Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) berbasis proyek yang kolaboratif akan semakin menguatkan pemberdayaan guru dan siswa dilingkungan sekolah. Dengan demikian otonomi guru secara berkelanjutan dengan segala bentuk perubahan kurikulum akan mengurangi keresahan, kegelisahan guru dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya. Semoga pergantian dan perubahan kurikulum tidak lagi menjadi momok terhadap guru namun semakin menguatkan pemberdayaan profesionalisme guru. Semoga bermanfaat. (****).

Rujukan
Aoki,N.(2002).Aspects of teacher autonomy: Capacity, freedom, and responsibility.In P.Benson & S.Toogood (Eds.), Learner autonomy 7: Challenges to research and practice (pp.110-124).
Lamb, T., & Reinders, H. (2008). Learner and Teacher Autonomy: Concepts, Realities, and Responses. Amsterdam: John Benjamins Publishing.
Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor:   21   /sipers/A6/I/2022
Sumardjoko, B. (2018). Model Pengembangan Profesi Guru Berbasis Konstruktivis-Kolaboratif. Sukoharjo: Diomedia.
Yan, H. (2010). Teacher-learner autonomy in second language acquisition. Canadian Social Science, 6(1), 66-69.
https://www.kompas.com/edu/read/2022/01/04/154233471/siapkah-guru-indonesia-melaksanakan-kurikulum-prototipe?page=all.
https://mediaindonesia.com/humaniora/467461/kurikulum-prototipe-beri-otonomi-pada-guru

Komentar