Oleh: Nelson Sihaloho
Rasional:
Suasana suasana riuh gembira ketika bel puanjang berbunyi menandakan usainya kegiatan pembelajaran yang diajarkan oleh Guru. Siswa/i bersorak dengan girang, merasa merdeka, lega, seperti orang yang baru keluar dari penjara. Begitulah realita umumnya kondisi kelas-kelas di berbagai sekolah di negeri ini. Bahkan ada peserta didik yang merasa bahwa sekolah adalah penjara. Belajar adalah membosankan. Mengutip pendapat Tony Buzan yang telah mealkukan penelitian selama 30 tahun tentang asosiasi orang tentang terhadap kata “belajar“. Tony Buzan menemukan sepuluh kata dan konsep, yaitu: membosankan, ujian, pekerjaan rumah, buang–buang waktu, hukuman, tidak relevan, penahanan, idih/aiih (yuck), benci dan takut “. Hasil penelitian Tony Buzan memang agak mendekati tepat dengan kondisi belajar kelas kelas di berbagai sekolah di negeri ini.
Apalagi masa pandemic Covid-19, tiada hari tanpa PR, jangan ribut kalau belajar, yang tidak dapat menyelesaikan soal kena hukuman, dan lain sebagainya. Kondisi tersebut pada akhirnya menciptakan atmosfir/ suasana kelas yang kaku dan membosankan. Banyak peserta didik pergi ke sekolah tetapi cara belajar mereka terbatas mendengarkan keterangan guru, kemudian tidak mencoba memahami materi yang diajarkan oleh guru.
Saat ujian dilaksanakan, sebagian mungkin mendapat nilai yang tinggi dan dianggap siswa yang sukses. Proses pembelajaran sebagaimana digambarkan di atas banyak kita temukan di sekolah-sekolah. Proses pembelajaran baru dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran pada tingkat rendah yakni mengetahui, memahami, dan menggunakan belum mampu menumbuhkan kebiasaan berpikir kreatif yakni suatu yang paling esensi dari dimensi belajar.
Berpikir Kreatif
Definisi berpikir masih diperdebatkan dikalangan pakar pendidikan. Berpikir merupakan proses menggunakan pikiran untuk mencari makna dan pemahaman terhadap sesuatu. Berpikir adalah kegiatan memfokuskan pada eksplorasi gagasan, memberikan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan mencari jawaban-jawaban yang lebih benar.
Berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dan terus menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan. Penelitian Brookfield (1987) menunjukkan bahwa orang yang kreatif biasanya sering menolak teknik yang standar dalam menyelesaikan masalah. Mempunyai ketertarikan yang luas dalam masalah yang berkaitan maupun tidak berkaitan dengan dirinya. Mampu memandang suatu masalah dari berbagai perspektif. Cenderung menatap dunia secara relatif dan kontekstual, bukannya secara universal atau absolut. Biasanya melakukan pendekatan trial and error dalam menyelesaikan permasalahan yang memberikan alternatif, berorientasi ke depan dan bersikap optimis dalam menghadapi perubahan demi suatu kemajuan. Adapun Marzano (1988) mengatakan bahwa untuk menjadi kreatif seseorang harus bekerja di ujung kompetensi bukan ditengahnya, tinjau ulang ide, melakukan sesuatu karena dorongan internela dan bukan karena dorongan eksternal. Pola pikir divergen/menyebar serta pola pikir lateral/imajinatif.
Sedangkan Haris (1998) menyataan bahwa kreatifitas dapat dilihat dari 3 aspek yakni sebuah kemampuan, perilaku, dan proses. Kreatifitas adalah sebuah kemampuan untuk memikirkan dan menemukan sesuatu yang baru, menciptakan gagasan¬-gagasan baru baru dengan cara mengkombinasikan, mengubah atau menerapkan kembali ide-ide yang telah ada.
Kreatifitas adalah sebuah perilaku menerima perubahan dan kebaruan, kemampuan bermain-main dengan berbagai gagasan dan berbagai kemungkinan, cara pandang yang fleksibel, dan kebiasaan menikmati sesuatu. Kreativitas adalah proses kerja keras dan berkesimbungan dalam menghasilkan gagasan dan pemecahan masalah yang lebih baik, serta selalu berusaha untuk menjadikan segala sesuatu lebih baik.
Harris,et.al, menyatakan bahwa untuk dapat berpikir kreatif seseorang perlu memiliki metode berpikir kreatif. Berbagai metode yang dapat dilakukan antara lain
pertama, evolusi, yakni gagasan-gagasan baru berakar dari gagasan lain, solusi-solusi baru berasal dari solusi sebelumnya, hal-hal baru diperbaiki/ditingkatkan dari hal-hal lama, setiap permasalahan yang pernah terpecahkan dapat dipecahkan kembali dengan cara yang lebih baik.
Ke dua, sintesis, yakni adanya dua atau lebih gagasan-¬gagasan yang ada dipadukan ke dalam gagasan yang baru.
Ke tiga, revolusi, yakni gagasan baru yang terbaik merupakan hal yang benar-benar baru, sebuah perubahan dari hal yang pernah ada.
Ke empat, penerapan ulang, yakni melihat lebih jauh terhadap penerapan gagasan, solusi, atau sesuatu yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat dilihat penerapan lain yang mungkin dapat dilakukan.
Ke lima, mengubah arah, yakni perhatian terhadap suatu masalah dialihkan dari satu sudut pandang tertentu ke sudut pandang yang lain.
Hal ini dimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah, bukan untuk menerapkan sebuah pemecahan masalah
Untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, usaha yang baik untuk lakukan oleh guru adalah dengan meningkatkan lingkungan belajar yang kondusif dalam menunjang perkembangan kreatifitas yakni lingkungan belajar yang secara langsung memberi peluang bagi kita untuk berpikir terbuka dan fleksibel tanpa adanya rasa takut atau malu.
Berpikir kreatif bisa menjadi sangat abstrak, karena itu sulit untuk melihat seseorang melakukannya. Berdasarkan hasil penelitian yang mengkaji fenomena ini seperti Universitas Negeri Iowa yang mengembangkan model HOTS (higher¬order-thinking-skills atau kemampuan berpikir tingkat tinggi) sebagai mana dipaparkan Housobah (2002) menyebutkan bahwa berpikir kreatif tidak dapat dilihat, tetapi produk/hasil dari berpikir kreatif tersebut dapat di lihat. Dengan model HOTS ini seseorang dapat melangkah dari tingkatan ilmu yang sangat dasar kepada tingkatan ilmu umum (generative) yang dianggap sebagai suatu yang diciptakan dan baru. Maka kalau ilmu umum telah dihasilkan berarti proses berpikir kreatif telah terjadi.
Dari model HOTS ini, selanjutnya Hosaubah mengembangkan metode SHEMAP (Spekulasi- Hipotesis Ekspansi- Modifikasi- Analogi Prediksi). Dengan taksonomi Bloom (2002) misalnya, implementasi berpikir kritis dan kreatif terletak ¬pada tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi, tidak pada tingkat dibawahnya yakni mengingat, memahami, dan menerapkan. Kalau menggunakan taksonomi Merril (1983), didikan berpikir terletak pada tingkat menemukan, tidak pada tingkat dibawahnya yakni mengingat dan menggunakan.
Emosi dan Kekuatan Belajar
Dengan memperhatikan emosi siswa dapat membantu guru mempercepat pembelajaran peserta didik. Memahami emosi para siswa juga dapat membuat pembelajaran lebih berarti dan permanen.
Penting diingat bahwa minat dan motivasi siswa berkaitan erat dengan emosi mereka. Apabila perasaan siswa tidak senang, bosan, terancam, tegang saat belajar dapat dijamin bahwa mereka tidak melaksanakan proses pembelajaran, tetapi mereka bertempur melawan perasaan mereka sendiri dan berharap proses pembelajaran segera berakhir.
Daniel Golemen dalam penelitiannya tentang otak membuktikan bahwa adanya hubungan antara keterlibatan emosi, memori jangka panjang, dan belajar. “Dalam tarian perasaan dan pikiran, kekuatan emosi menuntun keputusan kita saat demi saat, bekerja bahu membahu dengan pikiran rasional, mengaktifkan atau menonaktifkan pikiran itu sendiri.
Boleh di bilang, kita mempunyai dua otak, dua pikiran dan dua jenis kecerdasan; rasional dan emosional. Bagaimana kita berkiprah dalam hidup dan belajar ditentukan oleh keduanya, bukan hanya IQ, melainkan kecerdasan emosional juga berperan. Tentu saja, intelek tidak dapat bekerja pada puncaknya tanpa kecerdasan emosional “. (Goleman, 1995).
Hasil–hasil penelitian menunjukkan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan. Goleman,et.al, berdasarkan penelitiannya menyatakan: “ Ketika otak menerima ancaman atau tekanan, kapasitas saraf untuk berpikir rasional mengecil. Otak dibajak secara emosional menjadi metode bertempur atau kabur dan beroperasi pada tingkat bertahan hidup.
Ketersediaan hubungan dan kegiatan saraf benar- benar berkurang atau mengecil dalam situasi ini, dan dapat menghentikan proses belajar saat itu dan setelah itu“. (Goleman, 1995; LeDoux, 1993; MacLean, 1990). Salah satu kunci keberhasilan pembelajaran di kelas adalah membangun ikatan emosional, yaitu dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan dan menyingkirkan segala ancaman dan tekanan dari suasana belajar. Sejumlah studi menunjukkan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menyenangkan, menantang, dan gurunya demokratis dan ramah serta mereka terlibat langsung dalam pembuatan keputusan atau kesimpulan.
Suasana Kelas.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas saat pembelajaran berlangsung adalah penentu psikologis utama yang mempengaruhi belajar akademis (Walberg dan Greenberg,1997).
Suasana atau kondisi ruangan kelas menunjukkan arena belajar yang sangat dipengaruhi emosi. Dalam buku Quantum Teaching, Bobbi de Porter, Mark Reardon dan Sarah Singer–Nourie, menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dibangun untuk menciptakan suasana/atmosfir kelas yang refresh dan menyenangkan. Diantaranya adalah niat dan keyakinan. Niat kuat atau keyakinan seorang guru, atau kepercayaannya akan kemampuannya dan motivasi siswa harus terlihat jelas saat pembelajaran berlangsung. Caine dan Caine,(1997), menyatakn bahwa, guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya. Kemudian menjalin rasa simpati dan saling pengertian.
Hubungan yang didasarkan pada rasa simpati akan membangun jembatan menuju kehidupan bergairah siswa, membuka jalan memasuki dunia baru mereka. Mengetahui kekuatan minat mereka , dan berbicara dengan bahasa hati mereka. Membina hubungan dapat memudahkan guru melibatkan siswa, memudahkan pengelolaan kelas, memperpanjang waktu fokus, dan meningkatkan kegembiraan.
Dalam membangun hubungan Bobbi de Porter memberi beberapa tips. Pertama, perlakukan siswa sebagai manusia sederajat.
Ke dua, ketahuilah apa yang disenangi siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal – hal yang terjadi dalam kehidupan mereka.
Ke tiga, bayangkan apa yang mereka katakan kepada diri sendiri, mengenai diri sendiri. Ke empat, ketahuilah apa yang menghambat mereka untuk memperoleh hal yang benar – benar mereka inginkan. Jika anda tidak tahu, tanyakanlah.
Ke lima, berbicaralah dengan jujur kepada mereka, dengan cara yang membuat mereka mendengarnya dengan jelas dan halus serta ke enam, bergembiralah dengan mereka.
Selanjutnya membangun kegembiraan. Kegembiraan akan membuat siswa siap belajar dengan lebih mudah , mengusir rasa kebosanan , bahkan dapat mengubah sikap negatif siswa terhadap guru maupun mata pelajaran yang kurang disukainya. Untuk membangun kegembiraan dalam pembelajaran, Bobbi de Porter, Mark Reardon dan Sarah Singer – Nourie memberi saran untuk kegiatan ini. Yakni, pertama Afirmasi (Penguatan / Penegasan)
Gunakan afirmasi sebagai cara ampuh untuk menambah lebih banyak kegembiraan dan untuk membangkitkan minat dan motivasi siswa.
Ke dua, pengakuan, semua orang senang diakui. Menerima pengakuan membuat seseorang merasa senang, bangga, dan percaya diri. Peneliti aktivitas belajar anak , Gordon Wells menyatakan : “ Jika anak – anak diharapkan melakukan transisi dengan mudah dan percaya diri , mereka haruslah mengalami lingkungan baru sekolah sebagai sesuatu yang menggairahkan dan menantang .
Dalam lingkungan ini , sebagian besar usaha mereka harus berhasil dan mereka harus diakui sebagai diri mereka dan apa yang dapat mereka lakukan . …Anak – anak yang merasa atau dibuat merasa tidak diterima atau tidak kompeten akan lambat memulihkan rasa percaya diri , dan akibatnya kemampuan mereka untuk memanfaatkan kesempatan belajar mungkin berkurang “. (Wells , 1986 ) .
Ke tiga, membangun rasa saling memiliki dengan mengasah perasaan siswa untuk saling memiliki, dapat mempercepat proses belajar siswa dan guru. Rasa saling memiliki menciptakan rasa kebersamaan, kesatuan, kesepakatan, dan dukungan dalam belajar. Selanjutnya adalah keteladanan, guru adalah sosok penting yang dapat “ digugu dan ditiru “ . Siswa sering mencari – cari alasan untuk tidak tertarik dengan jalan mencari ketidaksesuaian antara kata – kata guru dengan semua perbuatan guru .
Tetapi , semakin banyak guru memberi keteladanan , maka siswa semakin tertarik dan mulai mencontoh guru .
Guru yang luwes, menunjukkan keterbukaan dalam perencanaan kegiatan belajar mengajar. Menjadikan materi pelajaran berguna bagi kehidupan nyata siswa. Mempertimbangkan berbagai alternatif cara mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa .
Dalam merencanakan sesuatu dalam keadaan mendesak , mampu. Dapat menggunakan humor secara proporsional dalam menciptakan PBM yang menarik.
Ciri Sikap Kognitif Guru yang luwes, menunjukkan perilaku demokrasi dan tenggang rasa kepada semua siswa. Respontif terhadap kelas ( mau melihat , mendengar , dan merespons masalah disiplin , kesulitan belajar). Memandang siswa sebagai partner dalam PBM. Menilai siswa berdasarkan faktor – faktor yang memadai.
Berkesinambungan dalam menggunakan ganjaran dan hukuman sesuai dengan penampilan siswa. Sikap Kognitif Guru yang luwes terhadap Materi dan Metode . Menyusun dan menyajikan materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Menggunakan macam – macam metode yang relevan secara kreatif sesuai dengan sifat materi. Luwes dalam melaksanakan rencana dan selalu berusaha mencari pengajaran yang efektif. Pendekatan pengajarannya lebih problematik, sehingga siswa terdorong untuk berfikir.
Semoga ( Penulis: Guru SMP Negeri 11 Kota Jambi).
Rujukan
1. De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki.2004. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
2. Beyer, B.K. 1985. Critical Thinking: What is It? Social Education, 45 (4)
3. Gie,The Liang. 2003. Teknik Berpikir Kreatif. Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta.
4. Hossoubafi,Z. Develoving Creative and Critical Thinking Skills (terjemahan) . 2004.
5. Rahmat, J. 2005. Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak. Bandung: Mizan Leraning Center (MLC)
Komentar