Meningkatkan Kecerdasan Emosionil Siswa Dengan Metode Pemberian Tugas

Oleh: Nelson Sihaloho

Abstrak
Peristiwa pandemi covid-19 awalnya menimbulkan keadaan yang kurang menyenangkan, sehingga berakibat terhadap munculnya emosi negative. Bahkan kita tidak bebas lagi bepergian dan melakukan pertemuan-pertemuan dan wajib selalu  menjaga jarak. Dalam kaitan ini dibutuhkan pengelolaan emosi yang baik bagi setiap orang dalam menjalankan aktifitasnya. Untuk peserta didik diharapkan mampu mengelola kecerdasan emosinya dengan baik. Pengelolaan kecerdasan emosional  memiliki pengaruh terhadap pengendalian  kondisi psikologis peserta didik. Terutama dalam melaksanakan tugas-tugas pembelajaran diharapkan peserta didik mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Meski pandemic Covid 19 belum berakhir bahkan menuju new normal saat ini pemberian tugas terhadap peserta didik diharapkan mampu meningkatkan kecerdasan emosionil mereka dengan lebih baik. Kecerdasan emosional baik ditandai dengan pemahaman akan kesadaran diri yang baik termasuk emosi dirinya, memiliki kemampuan mengatur diri, kemampuan untuk  mencoba yang terbaik, memiliki pemahaman yang baik tentang orang-orang di sekitarnya serta senantiasa memelihara hubungan sosial. Salah satu upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosionil siswa adalah dengan metode pemberian tugas selama belajar dari rumah (BDR). Sebab apabila peserta didik kurang mendapatkan rangsangan dalam pendidikan utamanya pembelajaran diprediksi kemampuan siswa akan semakin menurun. Karena itu rangsangan melalui pemberian tugas akan memicu meningkatnya kecerdasan emosionil siswa.

Kata kunci: kecerdasan emosionil dan pemberian tugas

Kecerdasan Emosionil

Memasuki abad 21, legenda Intelligence Quotient (IQ) sebagai satu-satunya tolok ukur kecerdasan yang juga sering dijadikan parameter keberhasilan manusia, digugurkan oleh munculnya konsep kecerdasan emosional atau Emotional Question (EQ) dan kecerdasan spiritual (Risma, 2012). Banyak pakar ahli memberikan defenisi dan pengertian tentang kecerdasan emosionil ini. Kecerdasan emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan mengelola perasaan-perasaan diri sendiri dan orang lain, menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis, serta kesempatan untuk hidup bahagia dan sukses menjadi sangat tipis. Kecerdasan emosi sangat penting untuk kehidupan seseorang (Efendi, 2005). Suasana emosional di dalam rumah, dapat merangsang perkembangan otak anak yang sedang tumbuh dan mengembangkan kemampuan mentalnya. Penelitian Joan Beck mengungkapkan bahwa banyak proyek riset jangka lama menunjukan intelegensi anak akan berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, apabila sikap di rumah terhadap anak hangat dan demokratis dari pada dingin dan otoritas. Mengutip Wijayanto (2020) menunjukkan bahwa peran orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosi anak usia dini meliputi: (1) peran orang tua sebagai pendidik, (2) peran orang tua sebagai pengasuh, (3) peran orang tua sebagai motivator, (4) peran orang tua sebagai model. Adapun Purniasih dan Suyanta (2019) menyatakan dalam penelitiannya bahwa yoga dapat menunjukan adanya pengenalan bentuk-bentuk emosi diri sendiri, meningkatkan kemampuan guru dan peserta didik dalam mengelola emosi dalam diri, membina hubungan dan berkomunikasi dengan orang lain. Sindhu (2013) juga menyatakan bahwa yoga dapat meningkatkan daya ingat, konsentrasi, menajamkan tingkat intelektual, menyeimbangkan emosi sehingga membuat hidup lebih tenang dan bahagia. Bahkan yoga dapat menurunkan stress, memberikan ketenangan dan menambah kepercayaan diri. Goleman misalnya memperkenalkan suatu jenis kemampuan baru yaitu tentang kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri maupun orang lain yang dikenal dengan Emotional intelligence (Lunenburg, 2011). Dalam beberapa penelitian para ahli kecerdasan emosi sering disebut Emotional intelligence (Lunenburg, 2011), kecerdasan emosional (Karambut dan Noormijati, 2012) dan kecerdasan emosi (Hidayati et al., 2008). Kecerdasan emosi belakangan ini semakin dikenal karena adanya keyakinan bahwa terdapat aspek psikologis yang menyebabkan individu berkembang dalam kehidupan pribadi bahkan pekerjaan mereka (Arbatani dan Mousavi, 2012). Kecerdasan emosional bekerja secara sinergi dengan keterampilan kognitif, orang yang berprestasi tinggi memiliki keduanya. Tanpa adanya kecerdasan emosional maka orang tidak mampu menggunakan keterampilan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimal. Individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi sangat diperlukan dalam tim untuk pencapaian tujuan yang optimal. Dengan kecerdasan emosi, individu belajar mengelola perasaaan yang dimiliki sehingga mendapatkan hasil yang baik dan efektif (Karambut dan Noormijati, 2012). Penelitian Wulandari (2011) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi dapat menentukan potensi untuk mempelajari keterampilan–keterampilan praktis. Kecerdasan emosional sebagaimana dinyatakan Daniel Goleman (2001: 20) terbagi kedalam 5 hal yaitu: (1) mengerti emosi, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) memahami perasaan orang lain, dan (5) menjaga relasi. Daniel Goleman,et,al, menyatakan bahwa kesuksesan hidup seseorang itu didukung oleh kira-kira 20% faktor IQ sedang 80% sisanya ditentukan oleh faktor lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional. Fox, Suzy, dan Paul berpendapat bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mencapai prestasi yang diharapkan. Ciarrochi, Yoseph V, dan Peter Salovey (1999) dalam penelitiannya tidak menemukan korelasi antara kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). EQ berkorelasi dengan jenis kepribadian, pengendalian suasana hati atau suasana batin. Taylor, Graeme, Parker, dan James (1999) dalam studinya tentang korelasi antara kecerdasan emosional dan kerja otak mengindikasikan bahwa ketika seseorang berada dalam keadaan marah, lebih banyak syaraf otak yang bekerja daripada ketika seseorang berada dalam suasana gembira. Kenyataan menyebutkan banyak orang-orang ber-IQ tinggi mengalami nasib yang jelek. Ini artinya nasib orang itu, sebagian ditentukan oleh tingkat kecerdasan emosinya.
Pemberian Tugas

Metode pemberian tugas merupakan salah satu cara mengajar melalui kegiatan perencanaan antara siswa dan guru mengenai suatu pokok bahasan yang harus diselesaikan siswa dalam waktu tertentu sesuai kesepakatan. Metode pemberian tugas merupakan metode yang banyak diberikan guru dalam proses belajar mengajar, sesuai dengan fungsi sekolah sebagai wadah edukasi. Karena itu belajar dengan memberikan tugas terhadap peserta didik syogianya disertai dengan perbuatan atau bekerja (learning to do). Metode pemberian tugas sering disebut dengan resitasi. Metode pemberian tugas atau penugasan diartikan sebagai suatu cara interaksi belajar mengajar yang ditandai dengan adanya tugas dari guru untuk dikerjakan peserta didik, di sekolah ataupun di rumah secara perorangan atau berkelompok (Mulyani dan Pernama 1999: 23). Adapun W.S Winkel (2000: 253). Pemberian tugas dapat dipandang dari tiga sudut. Pertama, menurut tujuan instruksional yang harus dicapai lebih dalam segi jenis perilaku, apakah terutama termasuk ranah kognitif, ranah afektif, atau rana psikomotorik. Kedua, menurut jumlah siswa yang harus mengerjakan tugas itu. Ada tugas yang harus dikerja sendiri-sendiri , dikerjakan bersama dengan seorang teman siswa atau dikerjakan bersama dalam kelompok kecil atau besar. Ketiga, menurut kadar tuntutan atau pendamping yang diberikan oleh tenaga pengajar. Metode pemberian tugas akan sangat membantu siswa dalam memahami materi ajar, karena secara tidak langsung siswa belajar melalui tugas tersebut. Disamping itu metode ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siswa melakukan tugas/kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran, seperti mengerjakan soal-soal, mengumpulkan kliping, dan sebagainya. Metode ini dapat dilakukan dalam bentuk tugas/kegiatan individual ataupun kerja kelompok, dan dapat merupakan unsur penting dalam pendekatan pemecahan masalah atau probem solving ( R. Ibrahim dan Nana Syaodih S 2010, 107). Jadi dapat dikatakan bahwa tugas yang diberikan untuk siswa beraneka ragam, seperti mengerjakan soal-soal, mengumpulkan kliping, dan sebagainya. Metode resitasi (penugasan) adalah metode penyajian bahan di mana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Tugas yang dilaksanakan oleh siswa dapat dilakukan di dalam kelas, di halaman sekolah, di laboratorium, di perpustakaan, di bengkel, di rumah siswa, atau di mana saja asal tugas itu dapat dikerjakan (Djamarah dan Zain 2006: 30). Metode pemberian tugas adalah cara penyajian bahan pelajaran di mana guru memberikan tugas tertentu agar murid melakukan kegiatan belajar kemudian harus dipertanggungjawabkan. Tugas tersebut dapat merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individual maupun kelompok (Sagala 2005: 45). Tugas dan resitasi tidak sama dengan pekerjaan rumah (PR), tetapi jauh lebih luas dari itu. Tugas biasanya bisa dilaksanakan di rumah, di sekolah, di perpustakaan, dan di tempat lainnya. Tugas dan resitasi merangsang anak untuk aktif belajar, baik secara individual maupun secara kelompok. Menurut Dimyati&Mudjiono (1996:18), penerapan metode pemberian tugas akan memberikan hasil optimal, jika pada saat guru memberikan tugas memperlihatkan berbagai syarat ataupun prinsip pemberian tugas. Adapun syarat-syarat pemberian tugas sebagai berikut: (1). Kejelasan dan ketegasan tugas. Pemberian tugas yang kabur akan mengacaukan dan menyulitkan para siswa, baik waktu yang terbuang karena siswa tidak tahu tentang apa yang harus dilakukan. (2). Penjelasan mengenai kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi sebelum memberikan tugas. (3). Diskusi tugas antara guru dan siswa. Syarat ini meminta kepada guru untuk mendiskusikan tugas yang akan diberikan dengan siswa terlebih dahulu. Diskusi tugas ini akan mengurangi perasaan bahwa tugas sebagai hal yang dipaksakan oleh guru. (4). Kebermaknaan tugas bagi siswa, Guru seringkali memberi tugas dan sekaligus memberi sanksi atau hukuman yang diterima oleh siswa bila tidak dapat menyelesaikan tugas. Adapun langkah-langkah yang harus diikuti dalam penggunaan metode pemberian tugas atau resitasi. Pertama fase pemberian tugas, yaitu tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya mempertimbangkan: (1) Tujuan yang akan dicapai. (2) Jenis tugas yang jelas dan tepat sehingga anak mengerti apa yang ditugaskan tersebut. (3) Sesuai dengan kemampuan siswa. (4) Ada petunjuk/sumber yang cukup mengerjakan tugas terebut. (5) Sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas tersebut. Kedua, langkah pelaksanaan tugas (1) Diberikan bimbingan/pengawasan oleh guru. (2) Diberikan dorongan sehingga anak mau bekerja. (3) Diusahakan/dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain. (4) Dianjurkan agar siswa mencatat hasil-hasil yang diperolehnya dengan baik ataupun sistematik. Ketiga, fase mempertanggungjawabkan tugas. Hal-hal yang harus dikerjakan pada fase ini adalah : (1) Laporan siswa baik lisan/tertulis dari apa yang telah dikerjakannya. (2) Ada tanya jawab/diskusi kelas. (3) Penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun nontes atau cara lainnya. Fase mempertanggungjawabkan tugas inilah yang disebut “resitasi”. Pemberian tugas untuk diselesaikan di rumah akan memberikan kesempatan untuk dapat belajar dengan aktif sesuai dengan irama belajarnya dan kecepatan belajarnya. Menurut Syaiful Sagala (2009, 219).

Meningkatkan Kecerdasan

Peter Salovey, dari Departemen Psikologi Universitas Yale Amerika cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan adalah melalui ranah-ranah yang terkandung dalam emosi. Salovey memberi petunjuk yakni (1) berusaha menyadari diri, pemahaman diri, ketika menghadapi situasi tertentu: siapa, aku, di mana aku, apa peranku, bagaimana keadaanku saat ini, (2) mengelola emosi secara benar, (3) memotivasi diri, dengan cita-cita atau tujuan yang jelas, seseorang akan terdorong untuk berbuat sesuatu untuk mencapainya. Dengan selalu berlatih diri, selalu menetapkan tujuan yang jelas, apa yang menjadi kebutuhannya, emosinya menjadi terarah, sehingga tindakannya pun menjadi terarah, (4) berlatih memahami orang lain, mencoba menjadikan orang lain menjadi diriku, berempati, teposeliro, (5) berusaha selalu menjaga hubungan baik dengan orang lain. Apabila hubungan seseorang dengan orang lain itu baik, maka cenderung orang tersebut dapat mengendalikan emosinya. Kecerdasan emosional merupakan bagian dari ranah afeksi yang dikembangkan dalam pproses belajar. Perlu digarisbawahi bahwa proses belajar itu adalah proses perubahan tingkah laku, baik yang bersifat mental maupun fisik. Perubahan perilaku yang bersifat mental misalnya dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari sikap kurang sopan menjadi sopan. Proses belajar mencerdaskan emosi dapat dilakukan dengan teori daya. Prinsip dasar dari teori daya mengatakan bahawa didalam jiwa manusia terdapat dayadaya atau potensi-potensi. Potensi-potensi ini dapat dilatih agar dapat berkembang. Latihan yang berulang-ulang akan menghasilkan kualitas hasil belajar yang optimal (Dimyati, 1999:46). Teori kondisioning Skinner, prinsip dasar teori inni mengatakan bahwa proses belajar itu terjadi dalam sebuah kondisi. Kondisi dapat direkayasa sedemikian sehingga memberi peluang bagi seseorang untuk memperoleh pengalaman. Teori Humanisme Rogers, prinsip dasar pendapat kaum humanis adalah bahwa belajar itu harus mengarah kepada meningkatnya martabat manusia. Manusia yang bermartabat diantaranya ditandai oleh adanya tingginya rasa tanggung jawab, tingginya penguasaan ilmu dan teknologi, serta tingginya moral. Intinya, emosi memegang peranan penting dalam hidup kita. Emosi yang tidak cerdas nyata-nyata dikatakan oleh Joseph P, dkk (2001) akan mengakibatkan relasi yang jelek, kesehatan mental yang buruk, serta karirnya tidak sukses. Dalam dunia kesehatan, Jeanne Segal (1997:9) dalam “Meningkatkan kecerdasan emosional” merasa yakin akan pentingnya memasukkan aspek emosi kedalam penyembuhan pasien secara holistic. Kenyataan menunjukkan, beberapa pasien kanker bisa bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama. Jeanne percaya, diantaranya terdapat hubungan yang kuat dan jelas antara emosi pasien dengan penyakit yang dideritanya. Hal-hal penting yang dapat membantu menyembuhkan penyakit itu adalah semangat hidup, motivasi, dan mengisi batin pasien. Kecerdasan emosional dibentuk melalui empat keterampilan yaitu kesadaran emosional, penerimaan, kesadaran aktif, dan empati. Empat keterampilan inilah yang dipakai sebagai tolok ukur memahami kecerdasan emosional seseorang. Pemberian tugas terhadap peserta didik diyakini akan meningkatkan kecerdasan emosionilnya. Emosi yang cerdas memegang peranan penting dalam hidup peserta didik sehingga yang bersangkutan bisa sukses, selamat, diterima, dan menerima sesamanya, tindakannya bijaksana, relasinya banyak, hidupnya merasa untung dan bermakna. Siswa yang memiliki kecerdasan emosinil yang baik dapat menyeimbangkan antara pikiran, perasaan, dan tindakan yang harus diambilnya. Semoga Bermanfaat. (Penulis: Guru SMP Negeri 11 Kota Jambi).
Rujukan:
Efendi, A. (2005). Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta.
Corey, G. 2006. Theory and Practice of Counseling ang Psychoterapy. USA. Brooks/cole.
Fox, Suzy, paul E. 2000. Relation of Emotional Intelligence, Practical Intelligence, general Intelligence, and trait effectifity with interview outcomes: Journal of Organizational Behavior. Vol 21,March 2000, 203-204.
Goleman, D. 2001. Emotional Intelligence. USA: New York Broadway.
Handoko. 1992. Motivasi Daya penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta: Kanisius.
Masson, Yacob. 1994:22, dalam Group Counseling. USA: New York Broadway.

Komentar