Oleh : Ade Sofa ,S.Ag.M.S.I
( Dosen STIA Setih Setio Muara Bungo )
Saya sempat berbincang-bincang dengan kawan yang pernah mengajar di salah satu pesantren. Kebetulan kawan saya itu seorang yang penguasaan bahasa arabnya bagus, hafiz Qurán dan selalu berpenampilan rapi dan enak dipandang. Sambil bercanda, saya ingatkan dia agar berhati-hati karena penampilan yang good looking dari orang yang agamis, bisa diincar Pak Menteri.
Dari obrolan yang berlanjut membahas pernyataan kontroversial Pak Menteri Agama, Fachrul Razi itu, saya merenungkan kembali betapa bahayanya bila pejabat publik bikin statement tanpa pikir panjang.
Beliau memang sudah meminta maaf dan mengklarifikasi bahwa apa yang dinyatakan itu adalah dalam forum internal ASN bukan konsumsi publik. Tapi beliau lupa bahwa sebagai pejabat negara, apa pun opini yang disampaikannya berdampak besar bagi
seluruh warga Indonesia.
Ada yang menarik saat Pak Menteri memberikan pembelaan diri di depan para anggota Komisi VIII DPR RI. Beliau membandingkan tuduhannya itu dengan kisah operasi intelijen Belanda di Aceh. Pak Menteri mengaku bicara tentang masuknya pahan radikalisme lewat orang good looking seperti masuknya Snouk Hurgronje ke Aceh.
Dia menyebut strategi semacam ini lazim digunakan dalam dunia intelijen. Perlu ada kewaspadaan tinggi akan potensi intelijen internasional memasukkan anak-anak good looking, berpengetahuan luas ke dalam komunitas tertentu
Mari sejenak kita menoleh ke belakang. Alkisah, penjajah Belanda mengirimkan
seorang intelektual, Christian Snouck Hurgronje, ke Aceh. Hurgronje merupakan orang Belanda yang mampu menaklukan Aceh berkat keuletan sekaligus kelicikannya dalam memecah belah masyarakat di Serambi Mekah.
Snouck Hurgronje lahir dari keluarga Kristen Protestan yang taat. Dia menjadi
mahasiswa teologi di Universitas Leiden dan meraih gelar doktor dengan disertasi
tentang Mekkah. Hurgronje fasih berbahasa Arab dan setelah meraih gelar profesor,dia pergi ke Mekkah untuk belajar Islam dari para ulama di sana.
Semasa tinggal di Arab Saudi pemilik nama Islam, Haji Abdul Ghaffar ini, bahkan sempat menikah dengan perempuan asal Jeddah. Beberapa tahun kemudian, dia dikirim ke Hindia Belanda untuk menjadi peneliti pendidikan Islam di Bogor dan sebagai Guru Besar bahasa Arab di Batavia. Dia lalu menikahi putri bangsawan pribumi asal Ciamis untuk memperdalam pemahamannya tentang adat, budaya, dan bagaimana Islam pribumi.
Singkat cerita, latar belakang Hurgronje terlihat sangat meyakinkan dan good looking sebagai sosok muslim yang taat. Fasih berbahasa Arab, hapal banyak ayat Al Quran dan hadits, serta beristri orang Sunda. Maka, ketika penjajah Belanda sulit memukul Aceh, Hurgronje pun diutus untuk mencari celah yang berguna bagi pemerintah kolonial meredam rakyat Aceh.
Karena ‘bungkus’ tampilannya yang menyakinkan, dia berhasil diterima oleh rakyat Aceh sebagai alim ulama. Sekian lama sebagai agen mata-mata di sana, Hurgronje memberikan nasihat atau taktik bagaimana seharusnya menaklukan Aceh. Satu poin penting dalam laporan intelejennya berbunyi:
” Perlawanan di Aceh tidak benar-benar dipimpin oleh Sultan, seperti yang selalu
dipikirkan Belanda, namun oleh ulama-ulama Islam”
Artinya, pemerintah kolonial harus melakukan kekerasan pada para ulama supaya bisa berkuasa. Para ulama perlu dibungkam karena selalu meyampaikan ajaran-ajaran soal jihad, negara Islam, dan konsep politik Islam lainnya. Agama hanya boleh ada sebatas ritual ibadah bukan dasar hidup bermasyarakat. Hurgronje berhasil mengadu domba rakyat Aceh sehingga jadi lemah.
Menilik riwayat sepak terjang Snouck Hurgronje sebagai ilustrasi yang melandasi alasan Pak Menteri menjustifikasi muslim good looking adalah jelas lemah dan tidak pada tempatnya.
Pertama, peristiwa Snouck Hurgronje terjadi pada masa penjajahan Belanda, di mana tujuannya jelas untuk menghancurkan Aceh. Taktik strategi itu tercatat nyata dalam bukti-bukti sejarah sebagai masa kelam rakyat Aceh.
Sementara itu, sekarang jelas sudah zaman yang berbeda. Saat ini, bangsa kita sudah merdeka dan berada dalam situasi yang kondusif untuk menjadi bangsa yang lebih maju dan sejahtera. Justru pernyataan Pak Menteri malah melahirkan kegaduhan dan acaman perpecahan yang nyata.
Kedua, Hurgronje mengarahkan penjajah untuk memerangi para ulama Aceh karena mereka dianggap sebagai penggerak jihad fissabilillah. Akibatnya banyak ulama Aceh terbunuh atau terpasung aktivitasnya oleh Belanda.
Hal ini menujukkan, posisi ulama adalah motor utama penggerak perjuangan rakyat di bumi rencong melawan penjajah. Pak Menteri malah terkesan membalikkan keadaan.Beliau menuduh sumber bencana lahir dari penampilan ulama. Padahal, tidak ada contoh bukti yang kuat bahwa hal itu benar adanya.
Ketiga, Hurgronje jelas-jelas menganggap Islam sangat berbahaya bagi kaum penjajah. Artinya dia mengakui betapa hebatnya ajaran Islam hingga menakutkan para kafir Belanda. Namun, Pak Menteri yang notabene adalah seorang muslim malah minder dengan keagungan agamanya sendiri.
Hal ini bisa jadi akibat ketidakpahaman beliau secara utuh terhadap ajaran Islam Rahmatan lil ‘Alamiin. Beliau terlalu terpengaruh dengan doktrin sesat bahwa terorisme saling berkelindan dengan ajaran Islam. Maka, wajar saja bila ada yang mempertanyakan kapasitas Pak Menteri sebagai Menteri Agama.
Keempat, Hurgronje jelas seorang yang munafik. Dia mengaku secara terbuka bahwa dirinya berpura-pura menjadi muslim. Pengakuan itu ia jelaskan dalam surat yang dikirim kepada teman kuliahnya, Carl Bezold. Surat itu telah diarsipkan diperpustakaan Universitas Heidelberg. Bahkan ketika wafat di Belanda pun, dia dikuburkan di pemakaman kristen milik gereja setempat.
Jelas, tuduhan Pak Menteri pada orang yang good looking sangat berbahaya. Berarti Pak Menteri secara tersirat menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang munafik. Padahal, kita tidak boleh sembarangan melemparkan label kemunafikan.Sebagaimana Pak Menteri pasti sangat marah bila dirinya disebut seorang yang munafik.
Kelima, kecurigaan Pak Menteri agar waspada adanya bahaya operasi intelijen internasional, yang memanfaatkan orang-orang good looking sebagai agen penyebar paham radikalisme, seharusnya menjadi kerahasiaan negara.
Hal itu, sangat tidak layak diobral menjadi penuturan di depan khalayak awam. Begitu pernyataan itu terlontar tentu saja menjadi bola panas yang memukul asumsi publik.
Akhirnya, dari kejadian yang sempat viral ini, ada baiknya kita menyadari bahwa lidah tak bertulang. Seperti pitutur Jawa, ajining diri dumunung ana ing lathi, yang
artinya nilai diri terletak di mulut. Pak Menteri perlu lebih berhati-hati melontarkan pandangan. Terlebih untuk isu agama yang sensitif.
Dan, untuk umat Islam, mari kita buktikan bahwa apa yang disangkakan Pak Menteri sama sekali tidak benar. Orang yang good looking dalam beragama adalah orang yang membawa rahmat bagi semua. Wallahu ‘alam bishawwab.
Komentar