Oleh : Nelson Sihaloho
Rasional:
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) usai mengikuti Rapat Kabinet Terbatas melalui konferensi video di Jakarta, Jumat (3/4/2020) yang lalu menyatakan akan menyiapkan lima strategi untuk menjalankan pembelajaran holistik demi mengembangkan sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang unggul. Salah satu indikator yang digunakan adalah peningkatan nilai
Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia. PISA sebagai metode penilaian internasional merupakan indikator untuk mengukur kompetensi siswa Indonesia di tingkat global. Pengembangan sumberdaya manusia Indonesia (SDM) unggul harus bersifat holistik. Tidak hanya literasi dan numerasi, tetapi pendidikan karakter memiliki tingkat kepentingan yang sama.
Lima strategi untuk meningkatkan nilai PISA Indonesia, pertama, transformasi kepemimpinan sekolah. Strategi ini dilakukan dengan memilih generasi baru kepala sekolah dari guru-guru terbaik. Kedua, transformasi pendidikan dan pelatihan guru. Ketiga, mengajar sesuai tingkat kemampuan siswa.
Strategi ini akan dilakukan dengan cara menyederhanakan kurikulum sehingga lebih fleksibel dan berorientasi pada kompetensi. Keempat, standar penilaian global. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) akan digunakan untuk mengukur kinerja sekolah berdasarkan literasi dan numerasi siswa, dua kompetensi inti yang menjadi fokus tes internasional seperti PISA, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), dan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). Kelima, kemitraan daerah dan masyarakat sipil. Kemitraan dengan Pemerintah Daerah dilakukan melalui indikator kinerja untuk Dinas Pendidikan. Apabila merujuk pada fakta diatas strategi pembelajaran holistic diprediksi akan berpengaruh terhadap transformasi kepemimpinan sekolah yang menuntut memilih generasi baru kepala sekolah dari guru-guru terbaik.
Pembelajaran holistic
Smuts mendefinisikan holisme sebagai sebuah kecenderungan alam untuk membentuk sesuatu yang utuh sehingga sesuatu tersebut lebih besar daripada sekadar gabungan-gabungan bagian hasil evolusi (Nobira: 2012). Sebagaimana diketahui bahwa pembelajaran holistic merupakan turunan dari konsep pembelajaran holistik (holistic learning). Merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Beberapa tokoh klasik perintis pembelajaran holistik, di antaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer (sumber: Widyastono, 2012). Pendidikan holistik sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Forbes and Robin (2004) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan. Sekolah hendaknya menjadi tempat siswa dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerja sama (kooperatif) lebih utama dari pada persaingan (kompetitif). Miller, dkk., (2005) merumuskan bahwa pendidikan holistik adalah pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi siswa secara harmonis (terpadu dan seimbang) , meliputi potensi intelektual (intellectual), emosional (emotional), phisik (physical), sosial (sosial), estetika (aesthetic), dan spiritual. Masing-masing potensi hendaknya dikembangkan secara harmonis. Jangan sampai terjadi kemampuan intelektualnya berkembang jauh melebihi sikap dan keterampilannya.
Proses pendidikan akan efektif apabila terjadi aksi, komunikasi, dan kerjasama antara pendidik dan siswa. Untuk mengimplementasikan pendidikan holistik, karakteristik pendidik holistik antara lain (Rinke, dalam Miller, at.al., 2005) yakni: 1) Pendidik holistik mengembangkan keragaman strategi pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa; 2) Pendidik holistik membantu siswa untuk mengembangkan potensinya; 3) Pendidik holistik menyusun lingkungan pembelajaran yang dapat mengembangkan seluruh potensi siswa; dan 4) Pendidik holistik mengimplmentasikan strategi penilaian yang beragam. Intinya dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Miller, dkk, et,al, mengemukakan prinsip penyelenggaraan pendidikan holistik, yaitu: 1) keterhubungan (connectedness); 2) keterbukaan (inclusion);dan (3) keseimbangan (balance). Keterhubungan, dimaksudkan bahwa pendidikan hendaknya selalu dihubungkan dengan lingkungan fisik , lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Keterbukaan, dimaksudkan bahwa pendidikan hendaknya menjangkau semua anak tanpa kecuali.
Adapun Illeris (2007) menyatakan bahwa pendidikan holistik dapat dilihat dalam tiga kesatuan dimensi yang utuh dan tidak boleh dipisahkan, karena antara yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Ketiga dimensi tersebut yaitu: 1) dimensi isi; 2) dimensi insentif; dan 3) dimensi interaksi. Melalui pendidikan holistik, siswa diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be), dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, dan belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya. Prinsip pendidikan holistik, yaitu: 1) berpusat pada Tuhan yang menciptakan dan menjaga kehidupan; 2) pendidikan untuk transformasi; 3) berkaitan dengan pengembangan individu secara utuh di dalam masyarakat; 4) menghargai keunikan dan kreativitas individu dan masyarakat yang didasarkan pada kesalinghubungannya; 5) memungkinan partisipasi aktif di masyarakat; 6) memperkukuh spiritualitas sebagai inti hidup dan sekaligus pusat pendidikan; 7) mengajukan sebuah praksis mengetahui, mengajar, dan belajar; 8) berhubungan dan berinteraksi dengan pendekatan dan perspektif yang berbeda-beda (Schreiner et. al., 2010). Para penganut Pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar Pendidikan holistik dengan sebutan 3R’s, yakni singkatan dari relationship, responsibility, dan reverence (sumber: Rubiyanto dan Dany Haryanto, 2010). Adapun paradigma pembelajaran holistik menurut Anhar (2015:27) menekankan proses pendidikan dengan ciri-ciri sebagai berikut: a). Tujuan pembelajaran holistic adalah terbentuknya manusia seutuhnya dan masyarakat seutuhnya, b). Materi pembelajaran holistik mengandung kesatuan pendidikan jasmani-rohani, mengasah kecerdasan intelektual-spritual-emosional, kesatuan materi pendidikan teoritis –praktis, kesatuan materi pendidikan pribadi-sosial ketuhanan.c). Proses pendidikan holistik mengutamakan kesatuan kepentingan anak didik dan masyarakat, d). Evaluasi Pendidikan holistik mementingkan tercapainya perkembangan anak didik dalam bidang penguasaan ilmu, sikap, dan keterampilan. Merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (selfactualization) yang ditandai dengan adanya:(1) Kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan (Anhar, 2015:28).
Implikasinya Terhadap Karir Guru
Keberhasilan proses pembelajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajar tetapi juga dilihat dari prosesnya. Hasi lbelajar bergantung pada proses belajar siswa dan mengajar guru. Karena itu guru perlu mengubah strategi pembelajaran dengan menggunakan metode dan pendekatan yang bervariasi dan lebih bersifat eksploraif, menggeser pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher cebtered) menjadi student centered (berpusat pada siswa) serta mendorong siswa menjadi kreatif. Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengamalan siswa. Karena itu, rencana pembelajaran dirancang agar peserta didik dapat meraih prestasi setinggi-tingginya. Mengutip pendapat Ginnis (2008), rencana pembelajaran yang disusun oleh guru sedapat mungkin bertujuan agar peserta didik mengasah: a). Berpikir: peserta didik memproses data secara aktif, logis, lateral, imajinatif, deduktif, dan sebagainya. b). Kecerdasan emosional: belajar menagani emosi dan menghubungkan dengan lainnya secara terampil, mengembangkan cirri personal positif seperti kendali diri dan nilai-nilai seperti keadilan. c). Kemandirian: peserta didik menguasai sikap dan kecakapan yang membuat mereka mampu memulai mempertahankan belajar tanpa guru. d). Saling ketergantungan: peserta didik terlibat dalam mutualitas yang merupakan inti dari kerja sama dan basis dari demokrasi. e). Sensasi ganda: peserta didik mendapat pengalaman melalui sejumlah indera bersama-sama dari efek melihat, mendengar dan melakukan. f). Fun: peserta didik memerlukan pengalaman belajar yang bervariasi seperti suasana serius dan ringan, aktif dan pasif, individual dan kelompok, terkontrol dan lepas, bising dan tenang sehingga menimbulkan kesenangan yang nyata. g). Artikulasi: peserta didik membicarakan atau menulis pikiran, seringkali dalam bentuk draft sebagai suatu bagian penting dari proses penciptaan pemahaman personal. Pembelajaran holistik tidak seperti teknik brainstorming atau mind map. Secara fundamental pendidikan holistik akan mengubah cara belajar dan cara menyerap informasi. Mengacu pada lima strategi sebagaimana disampaikan oleh Mendikbud Nadiem Anwar Makarim yakni transformasi kepemimpinan sekolah dengan memilih generasi baru kepala sekolah dari guru-guru terbaik. Transformasi pendidikan dan pelatihan guru serta mengajar sesuai tingkat kemampuan siswa. Beberapa tahun silam Kepala sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan untuk menduduki jabatan kepala sekolah di satuan pendidikan atau sekolah. Mulyasa (2005:36) menyatakan bahwa kepala sekolah memiliki fungsi sebagai: 1) evaluator, 2) manajer, 3) administrator, 4) supervisor, 5) leader; 6) inovator, 7) motivator (EMASLIM). Kepala Sekolah tidak saja dituntut untuk melaksanakan berbagai tugas disekolah, tetapi juga harus mampu menggerakkan tenaga pendidik dan tenaga kependidikannya selalu meningkatkan profsionalismenya sehingga tercapai kualitas guru professional. Keberhasilan kepala sekolah dalam mengembangkan dan melaksanakan karier fungsional guru akan membentuk guru dan sekolah yang bersangkutan menjadi lebih kreatif dan dinamis. Irhagustin (2013:13) mengungkapkan bahwa semakin lancar pengembangan dan pelaksanaan karier fungsional guru, maka guru dan sekolah yang bersangkutan semakin dinamis. pengembangan karir fungsional guru berimplikasi terhadap pencapaian kinerja guru. Kinerja guru adalah wujud perilaku guru dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) yakni, bagaimana seorang guru merencanakan pengajaran, melaksanakan kegiatan belajar mengajar dan menilai hasil belajar. Menurut Subandowo dalam Irhagustin (2013:3) dijelaskan bahwa untuk kepentingan peningkatan kualitas guru, perlu dilakukan beberapa hal, diantaranya adalah peningkatan produktivitas guru yang berkualitas. Dalam upaya peningkatan mutu produktivitas guru melalui pendidikan dalam jabatan, penekanan diberikan pada kemampuan guru agar dapat meningkatkan efektifitas mengajar, mengatasi persoalan-persoalan praktis dan pengelolaan proses pembelajaran, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap perbedaan individu para siswa yang dihadapinya. Santyasa Irhagustin (2013:3) dalam penelitiannya tentang keberadaan dan kepentingan pengembangan model pelatihan untuk pembinaan profesi guru menjelaskan temuannya bahwa hasil belajar siswa dapat ditingkatkan dengan cara menyediakan pelayanan pembinaan dan pengembangan produktivitas guru. Sedangkan pelatihan untuk guru juga akan diubah yakni pengelolaan sistim pendidikan dan pelatihan akan diubah semakin professional. Pendidikan dan pelatihan berfungsu untuk pengembangan sumberdaya manusia (SDM) termasuk pengembangan profesi dan kinerja guru sangat penting dikelola dengan baik. Sebagaimana pengalaman yang sudah-sudah banyak guru menjadi “langganan diklat”. Metode seperti itu harus diubah daimana paradigm baru pelatihan benar-benar dilaksanakan mengacu pada standar mutu, Mangkuprawira (2002: 139-140) dalam Arif Rahman (2009) memberikan tiga tahapan besar dalam pengelolaan program pelatihan yaitu tahap asesmen, tahap pelatihan dan tahap evaluasi. Dalam tahap asesmen dilakukan analisis kebutuhan pelatihan dari organisasi, pekerjaan, dan kebutuhan individu. Dalam tahap pelatihan dilakukan kegiatan merancang dan menyeleksi prosedur pelatihan, serta pelaksanaan pelatihan. Tahap terakhir adalah tahap evaluasi, pada tahap ini dilakukan pengukuran hasil pelatihan dan membandingkan hasilnya dengan kriteria. Kendati demikian perlu dipahami dengan benar bahwa salah satu kunci terpenting dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah kompetensi guru dan kepala sekolah. Pembaruan model kompetensi guru perlu dilakukan untuk menjawab tantangan terhadap kualitas pendidikan yang terus berkembang di tingkat global. Perkembangan teknologi serta berbagai pendekatan terbaru sangat perlu diperhatikan agar bisa menciptakan aturan yang sesuai dengan kebutuhan. Karena itu upaya untuk memformulasikan aturan dalam peningkatan mutu pendidikan harus selaras dengan perkembangan zaman. Kemampuan beradaptasi harus jadi indikator utama dalam menyikapi perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Proses manajemen SDM baik itu rekrutmen, seleksi, pelatihan, dan pengembangan karir guru harus sesuai dengan kebutuhan. Pembaruan model kompetensi untuk guru, kepala sekolah dan pengawas harus berorientasi pada peningkatan mutu layanan pendidikan. Sangat penting diutamakan adalah adalah semangat menciptakan sekolah berkualitas baik dan merata. Melakukan terobosan yang mampu mengubah ekosistem pendidikan me arah yang lebih baik harus dilakukan. Kepala sekolah harus berhasil menggerakkan guru-guru untuk selalu mengdepankan profesionalismenya dalam menjalankan tugas-tugasnya. Mulai dari tugas mempersiapkan rencana program pembelajaran (RPP) hingga membimbing guru dalam penelitian tindakan kelas (PTK) serta menulis karya ilmiah (KTI). Pengembangan karir guru harus benar-benat dilakukan dengan menjunjung tinggi profesionalisme. Budaya kedekatan dengan pejabat atau Kepala Dinas dengan “embel-embel” hubungan lainnya harus segera dihilanhkan. Termasuk pengawas seharusnya lebih “pintar dan pandai” dalam membimbing guru ataupun Kepala Sekolah bukan malah sebaliknya. Dengan demikian apabila benar pembelajaran holistic dilakukan dengan baik akan memberikan implikasi positif terhadap karir guru. Saat ini menguatnya tuntutan akan transformasi kepemimpinan sekolah yakni dengan memilih generasi baru kepala sekolah dari guru-guru terbaik. Kemudian transformasi pendidikan dan pelatihan guru juga akan diarahkan pada tuntutan perkembangan Iptek dimana guru dituntut mengajar sesuai tingkat kemampuan siswa. Standar terhjadap penilaian global juga akan dilakukan terutama implementasi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) akan digunakan untuk mengukur kinerja sekolah berdasarkan literasi dan numerasi siswa. Kemitraan daerah dan masyarakat sipil juga sangat penting dalam mendukung terlaksananya sistim pembelajaran holistic dengan berkelanjutan. Semoga bermanfaat. (Penulis: Guru SMPN 11 Kota Jambi).
Rujukan:
Haryanto, D. (2010). Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah (1 ed.). Jakarta: Prestasi
Kates. 2005. Holistik Learning and Spirituality in Education: Breaking New Ground. New York: State University of New York Press.
Megawangi, R. (2016). Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa (5 ed.). Depok: Indonesia Heritage Foundation
Miller, John P., Selia Karsten, Diana Denton, Deborah Orr, Isabella Colalillo
Mulyasa, E. (2011). Manajemen Pendidikan Karakter (1 ed.). Jakarta: Bumi Aksara.
Musfah, J. (2012). Pendidikan Holistik (1 ed.). Jakarta: Kencana Prenada Media.
Muslich, M. (2011). Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional (2 ed.). Jakarta: Bumi Aksara. Rubiyanto, N., &
Schreiner, Peter., J. Hare., Robert V. Kail. 2010. Holistik Education Resource Book: Learning and Teaching in an Ecumenical Context. New York: Waxmann Munster.
Komentar