Oleh: Nelson Sihaloho
Rasional:
Tantangan pendidikan abad ke-21 semakin berat, karena itu sekolah perlu menyiapkan strategi akseleratif agar mampu menghadapi pesatnya perkembangan teknologi di era industry 4.0. Memasuki abad 21para guru dituntut untuk terus meningkatkan keterampilan maupun skill sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknlogi (Iptek). Teknologi yang terus berkembang memang dapat menjadi referensi, namun pengajar yang baik tidak hanya bergantung pada teknologi yang tersedia, melainkan fokus pada pedagogi.
Begitu juga demoralisasi kini sudah merambah ke dunia pendidikan yang tidak pernah memberikan mainstream untuk berperilaku jujur karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas teks dan kurang mempersiapkan peserta didik untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif.
Fenomena “praktek korupsi” saat ini yang diduga ditandai dengan gejala tereduksinya moralitas dan nurani sebagian dari kalangan akademisi. Adanya temuan dan bukti menunjukkan masih tingginya angka kebocoran pos anggaran pada suatu institusi terkait. Dugaan pengkatrolan nilai oleh oknum guru, plagiatisme naskah-naskah penelitian tindakan kelas (PTK) dan karya tulis ilmiah (KTI), dugaan menjamurnya budaya nyontek para peserta didik, dugaan korupsi waktu mengajar maupun bentuk-bentuk pratik curang lainnya.
Pada akhirnya praktik pendidikan cenderung terfokus pada pengembangan aspek kognitif sedangkan aspek soft skils maupun nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Pendidikan holistic saat ini sangat urgensial untuk diterapkan, hal tersebut sejalan dengan penghapusan Ujian Nasional (UN) yakni dengan Assesment Kompetensi Minimum (AKM) dan Survey Karakter.
Diharapkan melaluipenilaian AKM dan survey karakter menyadarkan kita untuk terus memberikan bekal terbaik para generasi milenial.
Holistik dan Pendidikan Karakter
Pendidikan holistik merupakan suatu proses pendidikan yang mengaplikasikan konsep keterkaitan (Connectiedness), keutuhan (wholenees), dan proses menjadi (being). Saling keterkaitan ,dapat dijabarkan dalam beberapa konsep seperti interdependensi, interelasi, partisipasi, dan non linier.
Prinsip keutuhan, berupa pengembangan pribadi siswa secara utuh yang mencakup segi intelektual, sosial, emosional spiritual, fisik dan seni dalam porsi yang seimbang. Sementara itu, proses menjadi ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan, dan membimbing sesuai dengan keputusan dan tanggung jawabnya.
Dalam konteks pendekatan ini peserta didik diajak lebih banyak mengalami sendiri, berefleksi, dan mengambil makna bagi dirinya (HENT, 2001 dalam Paul Suparno, 2004). Kita juga sering melihat fakta dilapangan bahwa Idealisme saat ini tidak penting, bahkan sering menjadi bahan cemoohan.
Saatini adalah era di mana banyak orang percaya bahwa orang jujur tidak bisa maju secara ekonomik. Menurt Zuchdi, (2009:39-40) dalam analisis ESQ dijelaskan adanya tujuh krisis moral yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain adalah krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin, krisis kebersamaan, krisis keadilan. Pendidikan harus menjadi “the power in building character” dalam era globalisasi yang membutuhkan kekuatan adaptip terhadap masyarakat maupun perubahan. Kekuatan adaptasi harus dibangun pada pada proses pendidikan karakter dengan mengembangkan energi pembelajaran secara optimal.
Karakter adalah “distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern ofbehavior found in an individual or group”. Mengutip Koesoema (2004:104) menyatakan bahwa karakter merupakan sebuah kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak hanya sekedar berhenti atas determininasi kodratinya, melainkan sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya semakin proses penyempurnaan dirinya.
Koesoema,et.al mengungkapkan bahwa karakter bukanlah hasil atau produk melainkan usaha hidup. Usaha ini akan semakin efektif, ketika manusia melakukan apa yang menjadi kemampuan yang dimiliki oleh individu.
Kekuatan dalam proses pembentukan karakter sangat ditentukan oleh realitas sosial yang bersifat subjektif yang dimiliki oleh individu dan realitas obyektif di luar individu yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk pribadi yang berkarakter.
Pendidikan karakter harus dikembangkan secara holistik sehingga hasilnya akan lebih optimal. Karena dalam membangun manusia yang berkarakter bukan hanya dari dimensi kognitif saja, tetapi dalam prosesnya harus mampu mengembangkan potensi manusia.
Pendidikan karakter harus dirancang secara sistemik dan holistik agar hasilnya lebih optimal. Sebagaimana dijelaskan oleh Tom Lickona, (2004: 53-54) bahwa untuk mengembangkan pendidikan karakter perlu memperhatikan sebelas prinsip agar efektif adalah sebagai berikut. Pertama, Character education in holds, as starting philosophical principle, that there are widely shared pivotelly important, core, ethical values, suach as caring, honesty, fairnesss, responsibility, and respect for self and other. Ke dua, Character must be comprehensivelly defined to include thinking felling, and behaviour. Ke tiga, Effective character education requires an intentional, proactive, and comprehensive approach that promotes the core values in all phases of life. Ke empat, The program enviroment must be a carrying communty. Ke lima, To delevelop character children need opportunity for moral action. Ke enam, Effective character education include a meaningfull and challenging curiculum that respects all learners and helps them succed. Ke tujuh, Character education sholud strive to develop instrinsic motivation. Ke delapan, Staff must become a learning and moral community in which all shared responsibility for character education and attempt to adhere to same core values that guide chlidren.Ke sembilan, Character education require moral leadership. Ke sepuluh, Program must be recruit parent and community member as full patners. Ke sebelas, Evaluation of chararter education sholud asses the program, the staff’s functioning as character education and the extent to which are program is effective children.
Pedagogis dan Holistik
Pedagogi tidak hanya berkutat pada ilmu dan seni mengajar, melainkan memiliki hubungannya dengan pembentukan generasi baru, yaitu pengaruh pendidikan sebagai sistem yang bermuara pada pengembangan individu atau peserta didik. Danilov (1978) mendefinisikan pedagogis sebagai proses interaksi terus-menerus dan saling berasimilasi antara pengetahuan ilmiah dan pengembangan siswa. Asimilasi pengetahuan oleh siswa berkaitan dengan antusiasme mereka untuk mengetahui diverifikasi dalam proses kerja intensif dan aktif. Alberto Garcia. (2005) mengkonseptualisasikan konsep pedagogis sebagai tindakan guru dan siswa dalam konteks organisasi sekolah, dimana interaksi itu dilakukan berdasarkan teori pedagogis tertentu, berorientasi pada tujuan institusional, dan dikembangkan dalam interaksi yang dekat dengan keluarga dan masyarakat untuk mencapai pembentukan siswa secara sehat.
Tingkat eksistensi paling tinggi manusia adalah “aktualisasi diri”. Untuk mencapai tingkat ini, seseorang harus mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan “kebijaksanaan” (Forbes dan Ann, 2004). Aktualisasi diri (Ultimacy) dalam perspektif pendidikan holistik adalah mengarahkan peserta didik untuk dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be), sehingga dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil sendiri keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya.
Pendidikan holistik itu pendidikan yang menanamkan nilai-nilai agama (religius), berkarakter, dan peduli terhadap yang lain. Holistik didefinisikan sebagai sebuah pandangan pemahaman dalam kaitannya dengan keutuhan semua aspek manusia yang sangat penting. Untuk memahami perilaku manusia dan hubungan di antara semua makhluk hidup yang harus melibatkan pemahaman hubungannya dengan keseluruhan yang lebih luas (Forbes, 1996:4) Istilah pendidikan holistik muncul dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam peraturan tersebut, holistik di definisikan sebagai cara memandang segala sesuatu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan bagian lain yang lebih luas.
Dengan diakomodirnya istilah holistik dalam Permendiknas, maka semakin menunjukkan betapa pentingnya konsep pendidikan holistik untuk diterapkan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Pendidikan holistik adalah pendidikan demokratis, yang berhubungan dengan kebebasan individu dan tanggung jawab sosial, untuk membangun budaya kerukunan, pengembangan moralitas dan spiritualitas manusia yang berkelanjutan; guru dapat berperan sebagai teman, mentor, fasilitator, dan teladan bagi peserta didik (Kaigama, 2014: 23-28). Sejjalan dengan hal tersebut Martin, (2003:19) menyatakan pendidikan holistik sering digunakan pada model pendidikan yang lebih demokratis dan humanis.
Pendidikan holistik merupakan pendidikan yang mengembangkan dan memberdayakan secara harmonis seluruh potensi kemanusiaan kita yang telah dikaruniakan Tuhan agar dapat diberdayakan secara maksimal. Karena itu pendidikan holistik memperhatikan aspek spiritual, intelektual, emosional, kreativitas, aspek seni dan budaya dalam keutuhan dan harmoni.
Pendidikanholistik menekankan ilmu yang sejati, iman yang tinggi dan karakter yang mulia. (Oentoro, 2010: 351). Mengutip Henzell-Thomas (2004) pendidikan holistik merupakan suatu upaya membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan di dunia.
Model 4 H
Adapun UNESCO mencanangkan pendidikan holistik dengan mengintegrasikan 4 H. Pertama adalah Head (intelektual), ke dua, Heart (hati, emosional, dan spiritual), ke tiga Hand (tangan, keterampilan), dank ke empat Healty (kesehatan). Perbedaan pendidikan holistik dengan konsep pendidikan yang lain adalah pada tujuannya, perhatiannya terhadap pengalaman pembelajaran, dan pada kesepakatan meletakkan pendidikan dalam kaitannya dengan nilai-nilai utama kemanusiaan dalam lingkungan pembelajaran (Martin, 2003).
Tujuan pendidikan dianggap tepat untuk mempersiapkan anak didik agar mampu menghadapi tantangan di masa depan. Pendidikan holistik memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan peserta didik di bidang akademis, sosial, dan emosional karena membantu mereka dalam transfer pengetahuan dan menghubungkannya dengan pengalaman hidup pesert didik. Forbes dan Martin (2004: 4) mengemukakann bahwa tujuan umum pendidikan holistik adalah untuk mencapai “highest extent thought possible for a human”, pendidikan holistik menggambarkan pandangan kemanusiaan. Abraham Maslow menyebutnya sebagai “aktualisasi diri” (self actualization), pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan. Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual.
Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator.
Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi di abad ke-21 memerlukan manusia-manusia yang kritis dalam menjawab setiap perubahan. Konsep pendidikan holistik diharapkan dapat membangun manusia seutuhnya dengan mengembangkan semua potensi manusia yang mencakup potensi sosial-emosi, potensi intelektual, potensi moral atau karakter, kreatifitas, dan spiritual. Dalam pendidikan holistik guru menyediakan lingkungan bagi siswa untuk mengeksplorasi hal-hal yang penting untuk dipelajari.
Siswa harus mencoba untuk mengembangkan seluruh kompetensinya dan berpikir kritis. Sekolah merupakan tempat dimana guru dan siswa mencoba untuk mencapai tujuan bersama, hidup bersama sebagai komunitas atau keluarga (Saw, 2013: 74).
Dalam kaitan inilah dalam pendidikan holistic pentingnya ditekankan memacu peningkatan kecerdasan terhadap peserta didik. Albrecht (2004: 30) mengemukakan bahwa ada lima elemen kunci yang bisa mengasah kecerdasan sosial, yang disingkat menjadi kata SPACE: Situational awareness (kesadaran situasional), Presense (kemampuan membawa diri), Authenticity (autensitas), Clarity (kejelasan), dan Empathy (empati).
Saat ini banyak masalah yang muncul berkaitan dengan pendidikan. United Nations Educational Scientific and Cultral Organization (UNESCO) menggagas empat pilar pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan suatu bangsa. Empat Pilar tersebut meliputi learn to know, learn to do, learn to be, dan learn to live together. Empat Pilar Pendidikan yang dicanangkan UNESCO dapat kita artikan sebagai konsep pendidikan yang mengoptimalkan kemampuan siswa dalam menjalankan perannya di lingkungan atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan holistik yang bertujuan memunculkan individu yang memiliki pribadi utuh dan menyeluruh (intelektual, emosional, fisik, sosial, estetik, dan spiritual). Learning to know merupakan prinsip bahwa belajar adalah untuk mengetahui atau memahami. Learning to do, menekankan pentingnya berinteraksi dengan lingkungan dan memecahkan masalah yang muncul. Kemampuan soft skill dan hard skill sangat dibutuhkan dalam penguatan pilar ini. Learning to be, usaha yang dilakukan pendidik agar siswa dapat mencari jati dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki baik itu hard skill maupun soft skill. Learning to live together, pilar yang terakhir inilah yang akan mengantarkan siswa untuk memahami dan manyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari lingkungannya.
Pendidikan Holistikller yang dikutip Widyastono (2018) merupakan pendidikan yang mengembangkan dengan harmonis seluruh kemampuan individu yang meliputi intelektual, emosi, fisik, sosial, estetika, fisik, dan spiritual. Keterhubungan antar bagian dengan keseluruhan merupakan fokus dalam pendidikan holistik.
Pendidikanholistik dengan empat H sesungguhnya telah tercermin dalam empat pilar pendidikan yang harus diimplementasikan oleh peserta didik dalam kehiduan sehari-hari. Yakni menggunakan potensi intelektualnya dengan baik.
Menggunakan kata hati, emosional dan spiritual dengan baik. Menggunakan tangan dan keterampilan yang dimiliki dengan tepat dan baik sertamenerapkan prinsip hidup sehat dalam setiap kehidupannya.
Perlu didalami dan dimplementasikan secara komrehensif bahwa pendidikan holistik bermuara pada memanusiakan manusia menjadi manusia yang utuh dan sesungguhnya. Semoga Bermanfaat.
(Penulis: Guru SMP Negeri 11 Kota Jambi).
Rujukan:
1. Koesoma, Dony. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo.
2. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character : How Our School Can Do Teach Respect and Responsibility. Brantam Book: New York.
3. Slavin, R. E. 1994. Educational Psychology (3rd ed.). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall Inc.
4. Zuchdi, Darmiyati. 2008. Humanisasi Pendidikan. Yogyakarta. Bumi Aksara.
Komentar