Oleh: Nelson Sihaloho
Rasional
“Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi yang miskin “jalan ke atas sering kali dirintangi”, sedangkan: “jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui,”. Di era pandemic Covid-19 saat ini sistem belajar online (daring) menduduki rating paling top sejagad. Bahkan seminar-seminar online dengan Webinar, Zoom, google clasroom yang dilakukan oleh berbagai institusi dengan mengandalkan teknologi jaringan internet itulah yang paling bisa dilakukan saat ini. Bagaimana dengan peserta didik saat ini ditengah masa Covid-19 mereka juga dituntut untuk meraih prestasi yang tinggi.
Perlu digarusbawahi bahwa untuk mencapai suatu prestasi belajar yang tinggi tidak mudah. Harus mampu mengatasi banyak kesulitan dan kegagalan-kegagalan yang harus dilewati.
Tidak semua siswa mampu melewati kesulitan dan tantangan dalam proses belajar hal tersebut akan mempengaruhi prestasi belajarnya. Adversity quotient (AQ) dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan dalam hidup karena seseorang yang memiliki AQ yang tinggi bisa sukses meskipun banyak hambatan menghadang mereka tidak mudah menyerah dan tidak membiarkan kesulitan menghancurkan impian maupun cita-citanya.
Umumnya, peserta didik yang memiliki karakter jujur dan daya juang, cenderung memiliki karakter berani dalam menghadapi tantangan maupun kesulitan. Mengandalkan dirinya sendiri, pekerja keras, tekun dan belajar bersungguh-sungguh yang mendukung untuk keberhasilan studi anak.
Era sekarang ini, kita dihadapkan kondisi sedang mengalami krisis kejujuran dan memiliki daya juang yang rendah dalam segala aspek kehidupan tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Hal tersebut merupakan imbas dari sistem pendidikan kita yang masih sangat terjebak pada sistem penilaian angka-angka (kognitif) dan minus penilaian pengembangan penalaran dan daya kreatifitas.
Adanya tuntutan dari orang tua, nilai angka-angka yang ada di rapor harus menjulang tinggi, tak peduli dengan cara bagaimana memperolehnya. Tujuan pendidikan tidak hanya meraih kecerdasan secara kognitif namun pembentukan karakter siswa, tercermin dalam sikap, kepribadian dan perilakunya juga harus diperhatikan.
Adversity Quotient
Mengutip Paul G. Stoltz (2005:8) menyatakan bahwa “kesuksesan ditentukan oleh AQ yakni kemampuan bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya. Paul G.Stoltz,et.al, “Adversity qoutient atau AQ adalah teori yang ampuh, sekaligus ukuran yang bermakna dan merupakan seperangkat instrumen yang telah diasah untuk membantu supaya tetap gigih melalui saat-saat yang penuh dengan tantangan.
Daya juang diartikan sebagai kemampuan individu mencapai dan mempertahankan sesuatu dengan gigih (KBBI online, 2020). Kemampuan tersebut sering diterjemahkan kecerdasan dalam mengatasi kesulitan yaitu, adversity question. Sebagaimana diketahui bahwa istilah adversity question (AQ) dipopulerkan pada tahun 1997 oleh Paul Stoltz dalam bukunya Adversity Quotient: Turning Obstacles Into Opportunities. Jauh sebelumnya, dalam kajian ilmiah psikologi, konsep Adversity Quotient memiliki padanan konsep seperti relisiensi (resilience) dan ketangguhan (hardiness).
Hasil studi menunjukkan bahwa daya juang akademik berhubungan dengan perstasi akademik (Prianto, 2017). Selain itu daya juang memiliki peran penting bagi siswa dalam regulasi diri dalam belajar (Herawaty & Wulan, 2013). AQ akan merangsang siswa untuk memikirkan kembali rumusan keberhasilan dalam mencapai prestasi. AQ mengungkap misteri pemberdayaan dan motivasi manusia, sambil menanamkan ke dalam diri harapan-harapan, prinsip-prinsip, dan metode-metode yang penting bagi bidang kehidupan dan pendidikan. Paul G.Stoltz&Erik Weihenmayer yang diterjemahkan Kusnandar (2008:8) mengemukakan pendapat bahwa:“kesulitan memiliki kekuatan unik untuk menginspirasikan kecerahan yang luar biasa, membersihkan sama sekali sisa-sisa kelesuan, memfokuskan kembali prioritas,mengasah karakter,dan melepaskan tenaga yang paling kuat. Bahkan kemunduran kecil sekalipun menjadi lahan subur bagi peningkatan perilaku.
Jika mengurangi kesulitan akan menghilangkan kekayaan paling dalam, bakat tertinggi, dan pelajaran paling berharga dari kehidupan. Semakin besar kesulitan yang dihindari, semakin rendah kapasitas diri”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa AQ merupakan suatu kemampuan atau kecerdasan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup.
Untuk memahami peran AQ dalam menghadapi kesulitan maka terdapat tiga kategori respons terhadap tantangan-tantangan hidup. Paul G. Stoltz,et,al penemu AQ berdasarkan penelitiannya menemukan 3 kategori . Yakni, pertama, AQ tingkat quitters (orang-orang yang berhenti). Ke dua, AQ tingkat campers (orang yang berkemah), dan ke tiga, AQ tingkat climbers (orang yang mendaki)”. AQ tingkat “Quitters” (orang-orang yang berhenti), tidak diragukan lagi, ada banyak orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka inilah yang disebut Quitters atau orang-orang yang berhenti.
AQ tingat “campers” (orang yang berkemah), mereka pergi tidak seberapa jauh. Berbeda dengan quitters, campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan itu.
Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan mereka mungkin memang mudah atau mungkin telah mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat di mana mereka kemudian berhenti. Siswa yang AQ-nya termasuk kategori campers adalah AQ tingkat sedang.
Awalnya siswa tersebut giat berusaha menghadapi kesulitan hidup, di tengah perjalanan merasa cukup dan mengakhiri usahanya.
AQ tingkat “climbers” (orang yang mendaki), climbers adalah sebutan untuk orang yang seumur hidup membaktikan dirinya pada perjuangan. Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik, mereka terus berusaha dan berjuang. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi perjuangannya.
Tingkatkan AQ
Hidup adalah perjuangan, begitu dengan peserta didik harus dibiasakan untuk berjuang hingga berhasil. Mengutip Stoltz mengatakan bahwa ada 4 dimensi pada AQ.
Pertama adalah control, yakni, perasaan mampu untuk mempengaruhi situasi secara positif, dan mampu berada dalam control diri sendiri dan memberikan respon terhadap situasi.
Ke dua, ownership. Yakni, mengambil tanggung jawab pada sendiri untuk merubah situasi.
Ke tiga, reach yakni mampu berada di tempat ataupun di situasi-situasi dalam situasi pekerjaan ataupun kehidupan.
Ke empat, adalah endurance, mampu berpersepsi terhadap tekanan dan kapan situasi tertekan itu akan berakhir.
Adapun John Gray (2001) mengatakan “semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh”.
Adapun dimensi yang terkait dengan kecerdasan menghadapi kesulitan adalah pertama, control atau kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Ke dua, origin dan ownership mempertanyakan dua hal, yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu. Ke tiga, reach atau jangkauan mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau merembes ke bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Ke empat, endurance atau daya tahan mempertanyakan dua hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan lamanya penyebab kesulitan tersebut akan bertahan. Kecerdasan menghadapi kesulitan tersebut dapat ditingkatkan atau dapat diperbaiki dengan melakukan beberapa hal. Diantaranya, listen atau dengarkanlah respons terhadap kesulitan.
Explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya. Analysis bukti-buktinya; dan do atau lakukan sesuatu. Menurut Magnesen (2000) mengatakan bahwa; “90% pemahaman belajar diperoleh dari melakukan sesuatu. Konfusius lebih dari 2400 tahun silam menyatakan, bahwa; “yang saya dengar saya lupa, yang saya lihat sangat ingat, dan yang saya kerjakan saya paham.” Namun sayangnya praktek pendidikan dan pembelajaran baik yang dilakukan oleh orang tua, guru dan masyarakat belum sampai pada proses pembelajaran yang mengajarkan kepada anak dan siswanya bagaimana menghadapi kesulitan (adversity quotient).
Untuk merubah kemampuan AQ kita, lebih lanjut Stoltz menyarankan untuk mulai memperhatikan respons dari situasi yang sulit. Secara umum AQ manusia ditetapkan oleh 4 prinsip.
Pertama, AQ membuat manusia untuk bisa bertahan pada tekanan dan bagaimana mengatasi tekanan tersebut.
Ke dua, AQ membuat manusia mampu menyelesaikan permasalahannya terkait dengan tekanan yang diterima dan seberapa parah tekanan itu akan berefek/berpengaruh terhadap kehidupan.
Ke tiga, AQ membuat manusia untuk berpikir lebih dari harapannya untuk bias menunjukkan potensi-potensi yang dimiliki.
Ke empat, AQ membuat manusia memprediksi kapan dia akan menyerah dan kapan dia akan mampu mengatasi tekanan.
Bahkan AQ dapat digunakan untuk memprediksi kemampuan seseorang kaitannya dengan dayaguna seseorang, motivasi. Memberikan kewenangan terhadap seseorang kreativitas, produktivitas, pembelajaran dan pengharapan. Vitalitas, kegembiraan dan kesenangan seseorang, kesehatan emosional, kesehatan fisik. Ketekunan, sikap, harapan hidup seseorang serta respon terhadap perubahan. Terbukti bahwa banyak sekali orang bersyukur dengan perjalanan hidupnya yang penuh derita, sengsara dan serba kekurangan. Mereka menyadari betul dengan pelbagai penderitaan yang pernah dialaminya dan mampu dilampuinya itulah yang mengantarkannya pada sebuah keberhasilan.
Hubungannya dengan Optimisme
Hubungan antara Adversity Quotient (AQ) dengan optimisme terhadap peserta didik yakni memiliki kecenderungan untuk lebih berhasil. Kesulitan yang dialami oleh peserta didik harus dilewati dan diselesaikan dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.
Kemampuan yang telah dimiliki peserta didik akan menjadi langkah awal dalam meraih tujuan hidupnya untuk menjadi orang yang sukses. AQ adalah daya juang seseorang dalam menghadapi situasi masalah atau hambatan dalam kehidupan.
Dengan AQ ini individu dapat mengubah hambatan menjadi peluang, sebab kecerdasan ini penentu seberapa jauh individu mampu bertahan dalam mengatasi kesulitan. Penelitian yang dilakukan Reivich di Universitas Pennsylvania selama kurang lebih dari 15 tahun menemukan bahwa daya juang memegang peranan yang penting dalam kehidupan.
Sebab daya juang merupakan faktor esensial bagi kesuksesan dan kebahagiaan (Reivich and Shatte, 2002) ketika peserta didik dihadapkan pada kesulitan dan tantangan hidup, mereka menjadi loyo dan tidak berdaya, gampang menyerah sebelum berperang. Inilah tanda-tanda daya juang yang rendah. Menurut Stoltz (2005) bahwa “kesuksesan ditentukan oleh daya juang/adversity quotient yakni kemampuan bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya”. Penelitian relevan lainnya dilakukan Residential Area, Phase-7, Mohali, Punjab, India di School of Management Studies, Punjabi University, Patiala, Punjab, India (Kaur, 2012) selama 5 tahun menemukan bahwa daya juang memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Stoltz (2000) ada beberapa faktor yang mempengaruhi adversity quotient seperti kinerja, bakat, kemauan, kesehatan fisik dan mental, karakter, genetika, pendidikan, dan optimisme. Psychological Capital merupakan keadaan positif psikologis seseorang yang terdiri dari karakteristik adanya self-efficacy, optimism, hope dan resilience. Kompetensi dan Psycap yang positif akan mengarahkan individu untuk berprestasi unggul, dengan didorong oleh keyakian diri yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas menantang, memiliki atribusi positif tentang makna sukses dimasa yang akan datang, berusaha agar selalu mengarah pada tujuan ketika dihadapkan pada kesulitan tetap bertahan.
Tidak semua orang memiliki daya tahan tinggi dalam mengahadapi tantangan, sehingga banyak dari mereka yang putus asa bahkan tidak bersemangat untuk mencapai tujuan. Optimisme merupakan suatu keyakinan dalam menyikapi sebuah peristiwa baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, menempatkan penyebab kegagalan pada keadaan di luar diri.
Memiliki harapan dan ekspekstansi menyeluruh bahwa akan ada lebih banyak hal baik dari pada hal buruk akan terjadi pada masa yang akan datang. Sejalan dengan itu Chang (2002) berpendapat bahwa optimisme sebagai pengharapan individu akan terjadinya hal-hal baik, dengan kata lain individu optimis merupakan individu yang mengharapkan peristiwa baik akan terjadi dalam hidupnya dimasa depan.
Optimisme mengharapkan hal baik akan terjadi dan masalah yang terjadi akan terselesaikan dengan hasil akhir yang baik. Individu optimis juga mempunyai area kepuasan hidup yang lebih luas. Peserta didik yang optimis dalam bekerja mau mencari pemecahan dari masalah, menghentikan pemikiran negatif, merasa yakin bahwa memiliki kemampuan, dan lain-lain. Ketika menghadapi kesulitan atau kendala dalam bekerja akan berusaha menghadapi kesulitan atau kendala tersebut dan tidak membiarkan kesulitan berlarut larut. Peserta didik yang ingin sukses dalam mencapai tujuan dan cita-citanya harus memiliki daya juang yang tinggi.
Didorong dengan rasa optimisme kecenderungan akan berhasil juga terbuka dengan lebar. Intinya dalam hidup orang-orang yang memiliki daya juang tinggi adalah type-type pejuang tangguh. Berlindung “dibalik ketiak orang” agar kita berhasil merupakan salah satu sikap yang kurang baik. Adakalanya suatu saat kelak kita dihadapkan pada masalah yang lebih besar.
Apabila selalu kita “berlindung dibalik ketiak” dengan selalu mengandalkan orang sebagai “penyokong, becking” dalam meraih keberhasilan akan semakin besar bahaya kegagalan yang akan kita hadapi kelak. Karena itu jadilah anda menjadi diri anda sendiri, jati diri anda membuktikan siapa anda yang sesungguhnya. Semoga.
(Penulis: Guru SMPN 11 Kota Jambi).
Rujukan
1. Hergenhahn, B.r dan Olson, Matthew H. 2008. Theories Of Learning. Teori Belajar. Jakarta; Kencana Prenada Media Group
2. Stoltz, Paul G. 1997. Adversity Quotient. USA.
3. Stoltz G. Paul. 2005. Adversity Quotient (Alih Bahasa: T. Hermaya), Jakarta: Grasindo
4. Weihenmayer Erik&Stoltz G. Paul. 2008. Mengubah Masalah Menjadi Berkah (Alih Bahasa: Kusnanadar). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Komentar