Meminimalisir Kejenuhan Belajar di Masa Pandemi Covid-19

Oleh: Nelson Sihaloho

Rasional

Saat ini di masa pandemic Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda kapan berakhir membuat para peserta didik merasakan kejenuhan. Apalagi masa dan waktu terus berputar tidak terasa peserta didik tidk lama lagi akan menghdapi masa ujian.

Mau tidak mau suka atau tidak suka kondisi demikian akan memberikan beban psikologis terhadap peserta didik. Penerapan sistem belajar dari rumah (BDR) dalam jaringan (daring) membuat energy dan pikiran peserta didik terkuras.  Rasa jenuh juga mulai dirasakan oleh para orangtua secara langsung. Mereka mulai menyadari bahwa membimbing anaknya sendiri dalam proses belajar dari rumah merupakan hal yang berat. Jenuh seringkali diartikan adalah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apa pun.

Dalam belajar, peserta sering mengalami kelupaan, terkadang mengalami pikiran negative lainnya. Jenuh belajar dalam istilah psikologi lazim disebut learning plateau atau plateau (baca plea saja). Peristiwa jenuh apabila dialami oleh peserta didik dalam proses belajar (kejenuhan belajar) bisa membuat peserta didik merasa telah memubazirkan usahanya. Hubungan mutual antara guru, siswa, dan lingkungan sekolah merupakan satu kerinduan paling terbaik dan dinantikan sehingga proses belajar benar-benar berjalan dengan normal.

Kejenuhan  Belajar

Banyak kalangan para ahli psikologi dan pakar pendidikan memberikan defenisi tentang kejenuhan (burnout) belajar. Salah seorang diantaranya adalah Maslach&Jackson (1981) mendefinisikannya sebagai berikut. Burnout (kejenuhan) belajar merupakan bagian dari jenis masalah belajar Learning Disabilities .

Adapun dimana indikatornya adalah hasil belajar yang rendah, lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya, menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh. Menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya, menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya. “Burnout is a syndrome of emotional exhaustion and cynism that occurs frequently among individuals who do ‘people work’ of some kind”, yang artinya kejenuhan merupakan sebuah sindrom kelelahan emosi dan sinisme yang kerap terjadi pada individu yang bekerja pada bidang sosial. Thursan Hakim (2000:62) kejenuhan belajar adalah suatu kondisi mental seseorang saat mengalami rasa bosan dan lelah yang amat sangat sehingga mengakibatkan timbulnya rasa enggan, lesu, tidak bersemangat melakukan aktivitas belajar.

Sedangkan Demerouti dkk (2002: 428) mendefinisikan fenomena burnout yakni : “…burnout as a syndrome of work-related negative experiences, including feelings of exhaustion and disengagement from work. Exhaustion is defined as a consequence of prolonged and intense physical, affective and cognitive  memproses item-item informasi atau pengalaman baru, sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan “jalan ditempat”.  Pines dan Aronson (Brunk, 2006) mendefinisikan burnout sebagai kondisi emosional seseorang, yang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Burnout selalu mempunyai tiga komponen yaitu kelelahan fisik, kelelahan emosional, dan kelelahan mental. Pines dan Aronson,et.alm  menjelaskan bahwa beberapa indikator kelelahan fisik diantaranya sakit kepala, demam, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan makan. Sementara kelelahan emosi ditunjukkan dengan indikasi antara lain bosan, mudah tersinggung, sering berkeluh kesah, gampang marah, cepat tersinggung, putus asa, tertekan, dan tidak berdaya. Adapun indikator kelelahan mental antara lain merasa tidak berharga, rasa benci, rasa gagal, tidak peka, tidak simpatik, selalu menyalahkan orang lain, kurang toleran, dan sebagainya. Edi Sutarjo, Dewi Arum WMP.& Ni. Kt. Suarni (2014), burnout adalah reaksi negatif dari individu terhadap tugastugas belajar baik sikap, emosional, dan keadaan fisik yang ditunjukan melalui aspek kelelahan baik secara emosional maupun fisik, sinisme dan ketidakefektifan atau menurunya prestasi diri.

Adapun Suwarjo & Diana Septi Purnama (2014: 12) mengartikan burnout sebagai suatu keadaan keletihan (exhaustion) fisik emosional dan mental, keletihan tersebut dicirikan dengan perasaan tidak berdaya dan putus harapan, keringnya perasaan, konsep diri yang negatif dan sikap negatif.

Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa kejenuhan belajar merupakan suatu kondisi kelelahan emosi, kelelahan fisik, dan kelelahan kognitif serta hilangnyanya motivasi yang mengakibatkan seseorang tidak mampunya memproses informasi dan menurunya prestasi diri dalam proses belajar.
Dalam konteks pendidikan Indonesia, fenomena kejenuhan belajar pada siswa salah satunya disebabkan oleh kurikulum sekolah yang sentralistik-uniformistik.

Selain itu, kurikulum sekolah dinilai menuntut begitu banyak dari peserta didik, sehingga memberatkan mereka serta menjadikan mereka jenuh, dan loyo.
Mengutip Maslach dan Leiter (1997: 26) menyebutkan bahwa ada 6 faktor penyebab kejenuhan.

Pertama, work overload, terlalu banyak beban pekerjaan yang harus dilakukan oleh individu. Slivar (2001:22) menyatakan bahwa adanya tuntutan tugas dari sekolah yang terlalu banyak dengan waktu yang relatif singkat dan sumber pengetahuan yang sangat sedikit sehingga seringkali siswa merasa terbebani.

Ke dua, lack of control over one’s work, kurang adanya kontrol atas pekerjaan yang dilakukan oleh individu. Kurang adanya partisipasi dari siswa dalam proses belajar mengajar sehingga memudahkan siswa mengalami kejenuhan.

Ke tiga, insufficient reward, kurang adanya penghargaan atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh individu. Mengutip Slivar (2001:22) berpendapat, guru kurang memberikan penghargaan atas pencapaian tugas yang dilakukan oleh siswa sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar.

Ke empat, unfairness, kurang adanya kejujuran serta hubungan sosial dalam bekerja tidak terjalin dengan baik. Hal tersebut dapat ditandai dengan adanya konflik yang dialami oleh siswa baik dengan guru, ataupun dengan sesama temanya di sekolah.

Ke lima, breakdown of community, kurang adanya dukungan dari lingkungan kerja seperti hubungan interpersonal antara individu yang satu dengan yang lain tidak terjalin dengan baik.

Hubungan interpersonal guru dengan siswa maupun hubungan interpersonal teman sebaya kurang terjalin dengan baik sehingga membuat siswa merasa kurang nyaman dalam proses belajar di sekolah.

Ke enam, value conflict, adanya kesenjangan nilai/kebiasaan/norma yang berlaku di lingkungan kerja dengan prinsip yang dimiliki individu.
Menurut Slivar (2001:22) kesenjangan yang terjadi adalah kesenjangan antara aturan yang ada di sekolah dengan aturan yang ada di rumah. Adapun aspek kejenuhan belajar meliputi kelelahan emosi,  kelelahan fisik, kelelahan kognitif dan kehilangan motivasi.

Menurut  Bahrer & Kohler (2013: 57) mengungkapkan bahwa saat individu sadar impian mereka tidak realistis, idealisme mereka hilang dan kehilangan semangat, individu tersebut dapat dikatakan kehilangan motivasi yang merupakan gejala dari korban burnout. Gejala hilangnya motivasi ditunjukan pula dengan kekecewaan, ketidakpuasan, kebosanan dan penurunan moral. Bentuk lain dari kehilangan motivasi ini berupa penarikan diri secara psikologis sebagai respon dari stres yang berlebihan serta rasa ketidakpuasan (Cherniss,1980).

Relaksasi

Beech, dkk. (Mochamad Nursalim, 2013:85), berpendapat bahwa relaksasi adalah salah satu teknik dalam terapi perilaku.

Relaksasi dapat digunakan individu untuk menciptakan mekanisme batin dalam diri individu dengan membentuk kepribadian yang baik menghilangakan berbagai bentuk pikiran yang kacau akibat ketidakberdayaan individu dalam mengendalikan ego yang dimilikinya, mempermudah individu mengontrol diri dan menyelamatkan jiwa, dan memberikan kesehatan bagi tubuh individu.

Welker dkk. (1981:65) menyatakan bahwa relaksasi dapat mengurangi rasa cemas, khawatir dan gelisah, mengurangi tekanan dan ketegangan jiwa, mengurangi tekanan darah, detak jantung jadi lebih rendah dan tidur menjadi nyenyak, memberikan ketahanan yang lebih kuat terhadap penyakit, kesehatan mental dan daya ingat menjadi lebih baik, meningkatkan daya berfikir logis, kreativitas dan rasa optimis atau keyakinan, meningkatkan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain, bermanfaat untuk penderita neurosis ringan, insomnia, perasaan lelah dan tidak enak badan, mengurangi hiperaktif pada anakanak, dapat mengontrol gagap, mengurangi merokok, mengurangi phobia, dan mengurangi rasa sakit sewaktu gangguan pada saat menstruasi serta dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi ringan. Menurut Burn sebagaimana dikutip oleh Beech, 1982 (Mochamad Nursalim, 2013: 86), menyebutkan ada beberapa keuntungan yang diperoleh dari latihan relaksasi. Diantaranya

pertama, relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari reaksi yang berlebihan karena adanya stres.

Ke dua, masalah-masalah yang berhubungan dengan stres seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia dapat dikurangi atau diobati dengan relaksasi.

Ke tiga, mengurangi tingkat kecemasan. Ke empat, mengurangi kemungkinan gangguan yang berhubungan dengan stres, dan mengontrol anticipatory anxiety sebelum situasi yang menimbulkan kecemasan.

Ke lima, meningkatkan penampilan kerja, sosial, dan ketrampilan fisik. Ke enam. kelelahan, aktivitas mental, dan/ atau latihan fisik yang tertunda.

Ke tujuh kesadaran diri tentang fisiologis seseorang dapat meningkat sebagai hasil relaksasi, sehingga memungkinkan individu untuk menggunakan keterampilan relaksasi untuk timbulnya rangsangan fisiologis.

Ke delapan, relaksasi merupakan bantuan untuk menyembuhkan penyakit tertentu dan operasi.

Sembilan, konsekuensi fisioligis yang penting dari relaksasi adalah bahwa tingkat harga diri dan keykinan diri individu meingkat sebagai hasil kontrol yang mneingkat terhadap reaksi stres

. Ke sepuluh, meningkatkan hubungan interpersonal.
Banyak para ahli saat ini melakukan pengembangan tentang teknik relaksasi. Teknik relaksasi merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi respon internal individu. Carpenito, (2000) menyebutkan contoh teknik relaksasi yaitu biofeedback, yoga, meditasi, latihan relaksasi progresif.

Relaksasi adalah status hilang dari tegangan dari otot rangka dimana individu mencapai melalui praktek tehnik yang disengaja. Carpenito,et,al menyatakan bahwa dasar teorinya yakni di dalam sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang dan saraf cabang yang tumbuh dari otak dan sumsum tulang belakang tadi disebut urat saraf perifer atau saraf tepi.
Ditegaskannya bahwa, sistem saraf pusat bertanggungjawab mengendalikan gerakan-gerakan yang disadari, misal gerakan tangan, kaki, leher dan sebagainya. Sistem saraf otonom bekerja di luar kehendak kesadaran dan berfungsi untuk mengendalikan gerakan- gerakan otomatis atau tidak disadari seperti fungsi digestif proses kardiovaskular, gairah seks dan sebagainya. Sistem saraf otonom terdiri atas sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang bekerja secara berlawanan.
Sistem saraf simpatis bekerja meningkatkan stimulus dan memacu kerja organ-organ tubuh, seperti mempercepat detak jantung dan respirasi, menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan vasodilatasi pembuluh darah pusat. Sistem saraf parasimpatis berfungsi untuk merangsang penurunan aktifitas organ-organ tubuh yang dipacu oleh sistem saraf simpatis dan menstimulasi meningkatnya aktifitas organ-organ yang dihambat oleh sistem saraf simpatis. Selama sistem saraf berfungsi normal, bertambah aktifitas sistem organ yang satu akan memerlukan efek sistem yang lain. Pada saat individu mengalami ketegangan, yang bekerja adalah sistem saraf simpatis dan pada saat rileks yang bekerja sistem saraf parasimpatis. Dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang secara timbal balik, sehingga timbul counter conditioning (penghilangan) (Bellack & Hersen, 1997 dalam Prawitasari, 1998, Utami, 1991, Saseno, 2001). Relaksasi progresif adalah salah satu cara dari teknik relaksasi yang mengkombinasikan latihan nafas dalam & serangkaian seri kontraksi dan relaksasi otot tertentu. Teknik relaksasi progresif diperkenalkan oleh Edmund Jacob tahun 1929 dengan buku Progresif Relaxation (Davis et all, 1995).

Carpenito,et,al menyatakan teknik ini didasari bahwa tubuh bereaksi terhadap kecemasan dengan merangsang pikiran dan kejadian dengan ketegangan otot. Ketegangan fisiologis sebaliknya akan meningkatkan pengalaman subjektif terhadap kecemasan
. Relaksasi otot yang dalam akan menurunkan ketegangan fisiologis dan berlawanan dengan kecemasan kebiasaan untuk merespon terhadap satu keadaan akan menghambat kebiasaan merespon pada yang lain. Relaksasi bertahap dapat dilakukan dengan berbaring atau duduk di kursi dengan kepala ditopang. Setiap otot atau kelompok otot dikontraksikan selama 5-7 detik dan relaksasi 12- 20 detik dan dapat diulang beberapa kali. Carpenito,et,al memberikan laangkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Kepalkan kedua telapak tangan , kencangkan bisep dan lengan bawah, selama 5-7 detik. Bimbing klien ke otot yag tegang, anjurkan memikirkan rasa dan ketegangan otot spenuhnya. Kemudian rileks selama 12-20 detik
. 2) Kerutkan dahi ke atas, pada saat yang sama tekan kepala sejauh mungkin ke belakang, putar searah jarum jam dan kebalikannya.
3) Kerutkan otot muka seperti menari, cemberut, mata dikedipkan, bibir dimonyongkan ke depan, bahu dibungkukkan. Kemudian relaks
4) Lengkungkan punggung ke belakang sambil tarik napas dalam, tekan keluar lambung, tahan. Kemudian relaks.
5) Tarik kaki, dan ibu jari ke belakang mengarah ke muka, tahan. Relaks. Lipat ibu jari secara serentak, kencangkan betis, paha dan pantat selama 5-10 detik, perawat membimbing klien ketempat otot yang tegang, kencangkan sepenuhnya, kemudian relaks selama 12-20 detik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fenomena kejenuhan menjadi fenomena umum yang kerap dialami oleh kalangan peserta didik selama masa pandemic.

Kejenuhan belajar merupakan kondisi emosional, ketika seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik. Ini diakibatkan karena tuntutan pekerjaan terkait dengan belajar yang meningkat. Ada beberapa factor yang menyebabkan munculnya kejenuhan. Diantaranya, karakteristik individu yakni keinginan untuk sempurna, penghargaan diri yang rendah, ketidakmampuan mengendalikan emosi dan motif berprestasi yang rendah.

Faktor lingkungan belajar. Berupa iklim kelas yang negatif, kurang penghargaan dalam belajar, beban tugas belajar yang berat, konflik diri dengan individu dalam lingkungan belajar, dan suasana belajar yang statis. Keterlibatan emosional dengan lingkungan belajar. Berupa ketidakmampuan untuk asertif, terjadinya konflik peran, kurangnya dukungan belajar, hingga perbedaan nilai pribadi.

Faktor penyebab kejenuhan belajar adalah segala sesuatu yang menyebabkan kejenuhan belajar, meliputi faktor karakteristik peserta didik, lingkungan belajar, dan keterlibatan emosional dengan lingkungan belajar.  Mengutip Lauche, R., dkk, (2013), efek  dari  teknik relaksasi progresif yang  berkaitan  dengan  stres, manajemen  stres  mempunyai  peran penting dalam menurunkan denyut nadi  dan  tekanan  darah  sehingga  kita  bisa rileks  dan  mengatasi  kesulitan  tidur. Dengan demikian bahwa meminimalisir kejenuhanbelajar dikalangan peserta didik di masa pandemic Covid-10 dapat dilakukan dengan teknok relaksasi. Semoga.

(Penulis:Guru SMPN 11 Kota Jambi).

Rujukan:
1. Banson, H, dkk. 2000. Respon relaksasi tekhnik meditasi sederhana untuk mengatasi tekanan hidup. Bandung : Kaifa.
2. Corey, Gerald. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT. Refika Aditama
3. Ewin. 2012. Penggunaan Teknik Self-Instruction Untuk Mengatasi Stress Akademik Siswa. (Online). (http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/ penggunaan-teknik-self-instruction.html, diakses pada 8 Maret 2014)
4. Ramdhani, Neila dan Putra, Adhyos Aulia. 2006. Pengembangan Multimedia “Relaksasi”. Jurnal psikologi, (online), (neila.staff.ugm.ac.id/wordpress/ wpcontent/…/08/relaksasi-otot.pdf, diakses 13 desember 2013).
5. Subandi. 2003. Prosedur-Prosedur Relaksasi. Yogyakarta:Pustaka Belajar.

Komentar