Peran Inovasi, Manajemen Krisis Dalam Pendidikan

Oleh: Nelson Sihaloho

Rasional
AKhir-akhir ini istilah disruptif yang identic dengan “era gangguan” yang dianggap banyak merugikan orang, komunitas, lembaga bahkan sebuah Negara telah menyadarkan kita untuk sadar akan pentingnya inovasi. Termasuk manajemen krisis dalam menghadapi masa-masa suli seperti Pandemic Covid-19.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang memunculkan berbagai inovasi, kebaruan bahkan meninggalkan berbagai sistem konvensional. Teknologi pendidikan kini telah melakukan inovasi berbagai layanan pendidikan hingga layanan pendidikan kursus online pun bertebaran di website jaringan online. Munculnya inovasi disruptif yang berfungsi untuk melakukan transformasi melalui suatu sistem atau pasar yang eksisting, dengan memperkenalkan kepraktisan, kemudahan akses, kenyamanan, dan biaya yang ekonomis. Clayton M. Christensen& Joseph Bower (1995)  menyatakan “Disruptive Technologies: Catching the Wave”, Harvard Business Review (1995).

Inovasi Disruptif ini biasanya mengambil segmen pasar tertentu yang kurang diminati atau dianggap kurang penting bagi penguasa pasar, namun inovasinya bersifat breakthrough dan mampu meredefinisi sistem atau pasar yang eksisting. Inovasi disruptif jika tidak diantisipasi dengan baik oleh dunia usaha dapat menyebabkan kejatuhan. (Hadad, 2017).
Sejalan dengan perkembangan Iptek, maka diperlukan inovasi berkelanjutan dan manajemen krisis agar sektor pendidikan bisa melakukan  perubahan lebih efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan teknologi yang semakin massif.

Revolusi Industri 4.0 (IR-4)

Revolusi Industri 4.0 (IR-4) ditandai dengan adanya kolaborasi manufaktur dengan cyber fisik melalui penggunaan inovasi, terutama di bidang artificial intelligence, robotics, internet of things (IoT), autonomous vehicle, biotechnology, nanotechnology, 3-D printing, material science, quantum computing dan energy storage (Yahya, 2018; Wardani, 2018). Perkembangan teknologi memberikan pengaruh yang sangat besar di bidang pendidikan, khususnya terkait dengan ‘the way we learn’ (Bates, 2016).

Revolusi Industri 4.0 memicu munculnya disruptif teknologi sehingga berpengaruh ke dalam model-model pembelajaran berbasis teknologi informasi termasuk di lembaga perguruan tinggi.  Nasir (2018), menyatakan bahwa ada empat hal yang harus menjadi perhatian perguruan tinggi dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas dan memiliki kompetensi.
Keberadaan teknologi informasi telah menginisiasi munculnya model-model pembelajaran yang baru, serta mulai mengubah paradigma model pembelajaran konvensional yang dulu banyak dilakukan. Seperti dengan munculnya model pembelajaran online collaborative learning.

Ponsel di masa jayanya dijuluki sebagai ponsel sejuta umat itu kini akhirnya harus mengakui handphone bersistem android dan iOs sebagai inovasi yang mengganggu. Tidak menutup kemungkinan di masa depan akan muncul jenis ponsel/handphone baru dengan berbagai kecanggihan dengan bentuk fitur-fitur yang beragam. Mengutip Jim Collins (2001), menyatakan bahwa alasannya adalah mereka yang sudah bagus itu terlena, kurang awas, sehingga ia mengatakan, “Good is the enemy of greatness”. Teknologi telah membuat segala produk menjadi jasa, jasa yang serba digital, dan membentuk marketplace baru, platform baru, dengan masyarakat yang sama sekali berbeda. Manusia kini dituntut untuk berpikir eksponensial, bukan linear serta dituntut untuk merespons dengan cepat tanpa keterikatan pada waktu (menjadi 24 jam sehari, 7 hari seminggu) dan tempat (menjadi di mana saja), dengan disruptive mindset.

Inovasi dalam memberikan layanan pendidikan pun kini tidak terlepas dari ekonomi. Perkembangan teknologi yang sangat cepat menuntut lembaga pendidikan untuk melakukan inovasi. Teknologi dalam bidang layanan administrasi, akademik, kurikulum hingga pengembangan minat dan bakat siswa dapat dilakukan berbasis online. Sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) online akan semakin mudah mendeteksi penyimpangan-penyimpangannya baik zonasi, jarak rumah tempat tinggal ke sekolah, jumlah daya tampung hingga sarana dan prasarana sekolah.

Inovasi Pembelajaran

Adopsi teknologi informasi dalam proses pembelajaran merupakan hal yang tidak terhindarkan. Inovasi hanya dapat di imbangi atau dilampaui dengan inovasi, sehingga harus terus berinovasi. Secara harfiah inovasi/ innovation berasal dari kata to innovate yang mempunyai arti membuat perubahan atau memperkenalkan sesuatu yang baru, inovasi kadang diartikan sebagai penemuan namun, maknanya berbeda dengan penemuan dalam arti discovery atau Invention.  Dengan demikian inovasi dapat diartikan sebagai wujud baru berupa ide, gagasan, atau tindakan. Apabila dilihat dari maknanya, sesuatu yang baru itu bisa benar–benar baru, belum tercipta sebelumnya yang disebut invention, atau dapat juga tidak benar – benar baru sebab, sebelumnya sudah ada dalam konteks sosial yang berbeda, kemudian dikenal dengan istilah discovery. Itulh sebabnya inovasi bisa terjadi dalam segala bidang termasuk di dalamnya pendidikan. Inovasi dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.  Inovasi akan terjadi dan ada karena adanya masalah yang dirasakan, hampir tidak mungkin inovasi muncul tanpa adanya masalah. Oemar Hamalik (dalam Hera Lestari Mikarsa,2007:73) dalam pengajaran, perumusan tujuan pembelajaran merupakan hal yang utama dan setiap proses pengajaran senantiasa diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Untuk itu, proses pengajaran harus direncanakan agar dapat dikontrol sejauh mana tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dalam KBBI (1990: 330) yang memberi batasan, inovasi sebagai pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru, penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya baik berupa gagasan, metode atau alat. Berarti inovasi identik dengan sesuatu yang baru, baik berupa alat, gagasan maupun metode. Hasbullah (2001) menyatakan bahwa “baru” dalam inovasi itu merupakan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh si penerima inovasi.

Mengingat sangat pentingnya inovasi, maka inovasi menjadi sesuatu yang harus dicoba untuk dilakukan oleh setiap guru. Beberapa factor yang penting diperhatikan dalam inovasi pembelajaran yakni guru, siswa, materi ajar dan lingkungan.  Adapun peranan guru dalam melaksanakan inovasi pembelajaran, namun secara profesional meliputi tugas yakni sebagai pengajar agar siswa mampu menguasai dan mengembangkan ilmu dan teknologi.

Sebagai pendidik yaitu memberikan bimbinga kepada siswa agar berkembangan dengan optimal. Sebagai pengembangan bahan ajar guru harus memperhatikan prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran harus relevan, konsistensi, dan kecukupan.

Sebagai pengembang bahan ajar guru harus tahu bahan ajar dan kegiatan seperti apa yang dapat digunakan dalam untuk mendukung inovasi program pembelajaran. Diantaranya bahan ajar seperti apa yang harus di beli untuk dapat digunakan dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Bahan ajar seperti apa yang harus dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan siswa yang unik dan spesifik.  Bahan ajar seperti apa yang perlu dibeli dan dimodifikasi sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan siswa.

Beberapa metode yang dilakukan oleh guru di ruang kelas antara lain presentasi, demonstrasi (unjuk kerja), latihann dan praktik, tutorial, diskusi, penemuan, belajar kopreatif, permainan dan simulasi. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengimplementasikan pembelajaran inovatif yakni guru harus menguasai teori pembelajaran.

Memperkaya pemahaman pada metode pembelajaran, mempelajari kembali materi yang akan diajarkan. Mengenali kondisi kelas dan peserta didiknya, melakukan observasi pada pembelajaran sebelumnya, evaluasi pada pembelajaran sebelumnya serta melakukan perbaikan pada pembelajaran sebelumnya. Di masa pandemi Covid-19 telah telah memberikan dampak pada berbagai sektor kehidupan termasuk pendidikan. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pun menyatakan bahwa wabah virus corona telah berdampak terhadap sektor pendidikan.

Di seluruh dunia, hampir 300 juta peserta didik terganggu kegiatan sekolahnya dan terancam berdampak pada hak-hak pendidikan mereka di masa depan.  Apabila kondisi demikian terus berlarut, bisa dipastikan dampaknya terhadap sektor pendidikan juga akan semakin meningkat. Dampak yang paling dirasakan adalah peserta didik dan instansi penyelenggara pelayanan pendidikan, seperti sekolah di semua tingkatan.Hal demikian itu menuntut pentingnya inovasi pendidikan harus dilakukan di tengah pandemi. Metode E-Learning, yaitu pembelajaran memanfaatkan teknologi informasi (TI) dan komunikasi harus dioptimalkan. Dalam memberikan tugas  harus terukur dan tetap memastikan setiap hari pembelajaran peserta didik terlaksana tahap demi tahap. Inovasi-inovasi lain yang mampu mencapai sasaran dan tujuan pembelajaran juga harus dilakukan dengan bentuk-bentuk inovasi lainnya.

Mindset para guru harus diubah agar tidak lagi berorientasi pada aspek pencapaian kurikulum. Materi pembelajaran yang bisa disesuaikan dalam menghadapi pandemi Covid-19, yakni pembiasaan sehari-hari, belajar kecakapan hidup (lifeskill) serta sentuhan agama dan seni.

Manajemen Krisis

Banyak para ahli yang memberikan pengertian dan definisi tentang krisis. Menurut KBBI, krisis adalah keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit); parah sekali; keadaan yang genting; kemelut; keadaan suram (tentang ekonomi, moral, dan sebagainya). Krisis berbeda dengan masalah sehari-hari dan seringkali menjadi minat publik dan media.

Krisis merupakan suatu masalah besar yang datang secara tidak terduga dan dapat membawa dampak negatif maupun positif kepada organisasi. Ketika organisasi berada dalam situasi krisis, dialog antara manajemen dengan publik diperlukan untuk menangani krisis yang sedang melanda organisasi tersebut. Proses ini disebut dengan istilah komunikasi krisis.

Demi mencegah atau mengurangi efek yang ditimbulkan oleh krisis, maka manajemen krisis pada organisasi sangat krusial untuk dilakukan. Sebab, ancaman yang didapatkan dari krisis dapat mengakibatkan kerugian potensial yang berdampak pada organisasi itu sendiri, pihak-pihak terkait, hingga bidang dari organisasi tersebut.

  Secara garis besar, kerugian yang ditimbulkan terbagi menjadi tiga jenis, yakni kenyamanan umum yang terganggu, kerugian finansial, serta kerugian reputasi. Ketiga aspek ini memiliki kaitan antar satu sama lain.  Muchlisin Riadi (2020) menyatakan bahwa krisis adalah suatu keadaan, kejadian atau dugaan yang mengancam secara tidak terduga dan tidak diharapkan, berdampak dramatis, merusak reputasi serta mengganggu keberlangsungan individu atau organisasi yang mendorong organisasi pada suatu kekacauan (chaos) yang berdampak pada karyawan, produk, jasa dan kondisi keuangan.

Krisis merupakan suatu masa yang kritis berkaitan dengan suatu peristiwa yang kemungkinan pengaruhnya negatif terhadap organisasi. Karena itu, keputusan cepat dan tepat perlu dilakukan agar tidak mempengaruhi keseluruhan operasional organisasi.
Adapun Iriantara (2004), menyatakan manajemen krisis adalah salah satu bentuk saja dari ketiga bentuk respon manajemen terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi. Manajemen krisis didasarkan atas bagaimana menghadapi krisis (crisis bargaining and negotiation), membuat keputusan di saat krisis (crisis decision making), dan memantau perkembangan krisis (crisis dynamics).

Manajemen bertanggung jawab untuk mencari pemecah masalah dari krisis yang muncul dengan menggunakan strategi manajemen krisis yang mungkin dilakukan. Machfud (1998), krisis adalah suatu kejadian, dugaan atau keadaan yang mengancam keutuhan, reputasi, atau keberlangsungan individu atau organisasi. Hal tersebut mengancam rasa aman, kelayakan dan nilai-nilai sosial publik, bersifat merusak baik secara aktual maupun potensial pada organisasi, dimana organisasi itu sendiri tidak dapat segera menyelesaikannya.  Menurut Powell (2005), krisis adalah kejadian yang tidak diharapkan, berdampak dramatis, kadang belum pernah terjadi sebelumnya yang mendorong organisasi kepada suatu kekacauan (chaos) dan dapat menghancurkan organisasi tersebut tanpa adanya tindakan nyata.
Menurut Morissan (2008), berdasarkan waktunya krisis dibagi menjadi tiga kategori.

Pertama, Krisis yang bersifat segera (immediate crises). Tipe krisis yang paling ditakuti karena terjadi tiba-tiba, tidak terduga dan tidak diharapkan. Tidak ada waktu untuk melakukan riset dan perencanaan.
Krisis jenis ini membutuhkan konsensus terlebih dahulu pada level manajemen puncak untuk mempersiapkan rencana umum (general plan) mengenai bagaimana bereaksi jika terjadi krisis yang bersifat segera agar tidak menimbulkan kebingungan, konflik, dan penundaan dalam menangani krisis yang muncul.

  Ke dua, krisis baru muncul (emerging crises).
Tipe krisis ini masih memungkinkan praktisi public relations untuk melakukan penelitian dan perencanaan terlebih dahulu, namun krisis dapat meledak jika terlalu lama tidak ditangani. Tantangan bagi public relations jika terjadi krisis jenis ini adalah meyakinkan manajemen puncak untuk mengambil tindakan perbaikan sebelum krisis mencapai tahapan krisis.

Ke tiga, krisis bertahan (sustained crises). Tipe krisis ini adalah krisis yang tetap muncul selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun walaupun telah dilakukan upaya terbaik oleh pihak manajemen perusahaan atau organisasi untuk mengatasinya. Menurut Mazur dan White (1998), berdasarkan penyebabnya terdapat beberapa jenis krisis. Pertama, krisis teknologis (technological crisis). Dalam era pascaindustri ini makin banyak korporasi yang tergantung pada kemajuan dan keandalan teknologi, sehingga bilamana teknologinya gagal maka akibatnya bagi masyarakat sangat dahsyat.  Krisis konfrontasi (confrontation crisis). Krisis timbul karena gerakan masa melakukan proses dan kecaman terhadap korporasi.  Krisis tindak kejahatan (crisis of malevolence). Krisis timbul sebagai akibat dari tindakan beberapa orang atau kelompok-kelompok terorganisasi.
Krisis kegagalan manajemen (crisis of management failures). Krisis muncul karena terjadinya salah urus dan penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok-kelompok yang diberi kewenangan khusus.  Krisis ancaman-ancaman lain (crisis involving other threats to the organization).
Dalam perkembangan sekarang, krisis terutama dapat berbentuk likuidasi, pencaplokan, dan merger perusahaan. Krisis adalah penyakit yang kadang juga berarti lebih dari sekadar penyakit biasa seperti penyakit menular. Seperti pandemic Covid-19 apabila seseorag terkena penyakit maka harus melakukan isolasi sendiri. Atau melakukan pemisahan suatu hal dari hal lain atau usaha untuk memencilkan manusia dari manusia lain; pengasingan; pemencilan dan pengucilan.
Untuk mencegah krisis menyebar luas maka penderita harus diisolasi, dikarantinakan sebelum tindakan serius dilakukan. Mengisolasi krisis bisa juga dimaknai sebagai mengisolasi kemungkinan dampak krisis tersebut bisa menyebar. Dengan demikian krisis, selain tidak menyebar pada aspek lainnya, juga tidak akan menimbulkan dampak yang lebih parah.
Dengan demikian inovasi dan manajemen krisi perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan agar mudah ditangani. Di masa depan inovasi dan manajemen krisis akan semakin memudahkan langkah-langkah penanganan krisis dalam pendidikan. Yakni peramalan krisis (forcasting), pencegahan krisis (prevention), intervensi krisis (intervantion).

(Penulis: Guru SMPN 11 Kota Jambi).

Rujukan:
1. Iriantara, Yosal. 2004. Manajemen Strategis Public Relations. Jakarta: Ghalia Indonesia.
2. Machfudz, D.M. 1998. Ketika Perusahaan Menghadapi Krisis. Jurnal ISKI Manajemen Krisis, No.2, Oktober 1998.
3. Prayudi. 2008. Manajemen Isu – Pendekatan Public Relations. Yogyakarta: Pustaka Adipura.
4. Ridwan Sanjaya, (2017) Disruptive Innovation dalam Pendidikan Tinggi. Universitas Katolik
5. Soegijapranata. 2017-07-27-fh-uii-semnas-disruptive-innovation-manfaat-dan-kekurangan-dalam konteks-pembangunan-ekonomi
6. http://pascasarjana.ulm.ac.id/id/wpcontent/uploads/2016/01/Materi-Kuliah-UmumPPs-ULM-TA-2017-2018_
7. http://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/5318/Orasi%20Dies%20FE%2063_2018_Tantangan%20bagi%20perguruan%20tinggip.pdf?sequence=1&isAllowed=y https://www.indonesiax.co.id/courses

Komentar