GLS, Pengembangan Karakter Implikasinya Terhadap Daya Juang Peserta Didik

 

Oleh: Nelson Sihaloho
( Guru SMP Negeri 11 Kota Jambi)

Rasional:
Saat ini bangsa kita sedang dihadapkan pada persoalan moralitas dan krisis karakter. Persoalan moralitas ditandai dengan banyaknya kondisi moral atau akhlak generasi muda yang kurang sesuai dengan nilai-nilai karakter bangsa. Sejalan dengan kondisi tersebut pemerintah menggaungkan gerakan lietrasi sekolah (GLS). Gerakan literasi sekolah merupakan salah satu program yang sangat penting diterapkan di bidang pendidikan. Sebab program ini diyakini mampu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam membaca dan menulis. Kemampuan berliterasi peserta didik berkaitan erat dengan tuntutan keterampilan membaca yang berujung pada kemampuan memahami, meneliti dan menerapkan. Guru atau tenaga pendidik merupakan orang yang diharapkan mampu mengondisikan suasana batin peserta didik. Bahwa kegiatan membaca dan menulis merupakan aktifitas yang menyenangkan serta siswa bisa meraih kesukses dengan literasi.
Faktanya bila meihat kondisi dilapangan masih banyak sekolah yang belum mampu menerapkan literasi. Salah satu faktor yang menjadi kendala belum terlaksananya program literasi yakni setiap sekolah memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menerapkan program literasi. Ditambah dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) peserta didik semakin jarang terlihat membaca di perpustakaan. Bahkan mereka lebih senang menggunakan HP dan tahan berjam-jam main “chatting” atau game. Melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS) diharapkan mampu menumbuhkembangkan nilai-nilai karakter dikalangan siswa dengan pembudayaan ekosistem literasi sekolah serta berdaya juang.

Gerakan Literas Sekolah

Kata literasi dalam bahasa Inggris berupa literacy yang berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang mempunyai pengertian melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya. Literasi itu sendiri diartikan melek huruf, kemampuan baca tulis, kemelek wancanaan atau kecakapan dalam membaca dan menulis. Sedangkan pengertian literasi berdasarkan konteks penggunaanya sebagaimana dinyatakan oleh Baynham bahwa literasi itu merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis. Literasi umumnya berhubungan dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun sistem bahasa tulis itu sifatnya sekunder. Tatkala kita berbicara mengenai bahasa, tidak terlepas dari pembicaraan mengenai budaya, sebab bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Mengutip R Kern, Literacy and Language Teaching .(Oxford: Oxford University Press, 2000) menyatakan “Literacy is the use of socially, and historically, and culturally-situated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge. (Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubungan-hubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka dengan maksud/ tujuan, literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/wacana.Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan kultural) Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan program yang dirancang oleh pemerintah pada tahun 2014, dan diberlakukan pada Maret 2016. GLS dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan, mulai jenjang SD, SMP, dan SMA. Pada dasarnya GLS merupakan program untuk menumbuhkan minat baca, sehingga turut serta mengembangkan karakter gemar membaca pada siswa. Lebih spesifik, GLS bertujuan untuk menumbuhkembangkan budi pekerti siswa melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah agar mereka menjadi pembelajaran sepanjang hayat (Kemendikbud, 2016:2). Literasi dalam konteks GLS adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktifitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara (Kemendikbud, 2016:2). Berdasarkan tujuan dan konsep dasar literasi tersebut, maka GLS juga mempunyai andil dalam menumbuhkan karakter pada siswa dengan cara mengembangkan kemampuan siswa dalam mengakses, memahami dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas seperti membaca, melihat, menyimak, menulis dan berbicara. GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik (Faizah dkk, 2016). Sedangkan Tryanasari dkk (2017) menyatakan literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka untuk mengatasi masalah karakter di sekolah. Menurut Sulistyo (2017:1) tujuan umum dari gerakan literasi sekolah adalah untuk menumbuh kembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan berbagai macam literasi yang diwujudkan dalam gerakan literasi sekolah, agar menjadi pembelajaran sepanjang hayat. Gerakan literasi sekolah dalam ruang lingkup pendidikan banyak ragamnya. Mulai dari literasi matematika, literasi sains, literasi membaca, literasi menulis hingga literasi digital.

Karakter dan Pengembangan Nilai

Karakter merupakan kepribadian yang dimiliki oleh seseorang dalam berpikir, bertindak, dan berperilaku. Mengutip Akbar (2016:746) menjelaskan bahwa karakter merupakan perwujudan nilai-nilai yang terinternaslisasi pada diri seseorang, nilai-nilai kebaikan itulah yang menjadikan karakter baik. Nilai merupakan perwujudan dari empat proses psikososial yang meliputi olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga yang saling berpengaruh, berkaitan dan saling melengkapi, kemudian menghasilkan beragam karakter. Berbagai nilai kebaikan sebagai hasil dari keempat proses psikososial tersebut perlu ditanamkan untuk menumbuhkan karakter dalam diri siswa. Kementerian Pendidikan Nasional (2010) memaparkan sebanyak 18 karakter yang perlu ditumbuhkan, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Pendidikan karakter merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengaktualisasikan tujuan tersebut.
Akbar,et.al, menguraikan bahwa pendidikan karakter adalah upaya fasilitasi yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, dan komunitas untuk menjadikan siswa berkarakter baik (baik dalam cakupan hidup dengan benar dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, alam, bangsa dan negaranya, serta diri sendiri). Sekolah sebagai pelaksana pendidikan karakter diharapkan dapat memfasilitasi kebutuhan siswa dalam mengembangkan potensi, mengarahkan dan mengembangkan pola pikir.
Mengutip Chaplin, (2011:343) menyatakan kemandirian diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung pada orang lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri. Jossberger (2011: 22) dalam penelitiannya mengenai kemandirian mengatakan bahwa siswa yang memiliki kemandirian akan berhasil dalam pembelajaran. Salah satu upaya dalam meningkatkan pendidikan karakter mandiri di sekolah adalah melalui budaya sekolah yaitu Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Thomas Lickona (dalam Akbar, 2016) juga memaparkan hal serupa bahwa unsur karakter terdiri dari moral knowing, moral feeling, dan moral action. Pendidikan karakter juga bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan (Nuswantari, 2018).
Mengingat pentingnya karakter dalam membangun sumber daya manusia yang kuat, maka perlunya pendidikan karakter yang dilakukan dengan tepat. Dengan demikian maka Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai suatu upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat. Proses pengembangan pendidikan karakter di lingkungan sekolah menengah sebaiknya diajarkan dengan sistematis dalam model pendidikan yang holistic yaknidengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, acting the good. Pengetahuan tentang kebaikan (knowing the good) mudah diberikan karena bersifat kognitif. Setelah knowing the good perlu ditumbuhkan perasaan senang atau cinta terhadap kebaikan (feeling the good). Selanjutnya, feeling the good diharapkan menjadi mesin penggerak sehingga seseorang secara suka rela melakukan perbuatan yang baik (acting the good). Penanaman dengan model seperti demikianlah yang akan mengantarkan seseorang kepada kebiasaan berlaku baik. Dalam penanaman pendidikan karakter yang paling utama dibuktikan serta ditonjolkan adalah keteladanan. Kepala Sekolah sebagai pemimpin harus memberikan teladan karakter yang baik kepada masyarakat.

Berkelanjutan, Kreatifitas dan Daya Juang
GLS merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah. Karakter gemar membaca merupakan kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan untuk diri siswa. Karakter menghargai prestasi adalah karakter yang terwujud dalam bentuk sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Pendidikan karakter melalui GLS tidak akan menjadi trend apabila hanya dijadikan komoditi, promosi dalam dunia pendidikan. Pendidikan karakter selalu berproses dan tidak pernah selesai dilakukan oleh individu. Proses itu terus menerus dilakukan untuk penyempurnaan. GLS juga hendaknya mampu memacu kreatifitas anak didik untuk berprestasi lebih baik. Kreatifitas adalah proses penyatuan pengetahuan dari berbagai bidang pengalaman yang berlainan untuk menghasilkan ide yang baru dan lebih baik (West, M, 2000). Cambell (1986), dan Glover (1990), kreatifitas merupakan kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya: baru (novelty), yang berarti inovasi, belum pernah ada sebelumnya dan aneh; berguna (useful), yang berarti lebih praktis, mempermudah, mengatasi kesulitan, dan menghasilkan yang lebih baik; dimengerti (under-standable), yang berarti hasil yang sama dapat dimengerti atau dipahami dan dapat dibuat pada waktu yang berbeda.
Kondisi kreatifitas yang rendah akan memberikan implikasi terhadap ketidakmampuan siswa melihat kemungkinan berbagai solusi penyelesaian masalahnya. Akibatnya siswa cenderung kurang memiliki daya juang terhadap kesulitan yang terjadi di dalam mengatasi masalahnya. Stolt (1997) menyatakan daya juang adalah kemampuan yang dimiliki individdu untuk bertahan dalam menghadapi dan mengatasi segala kesulitan yang terjadi dengan terus ulet dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Kemampuan seseorang untuk menggerakkan tujuan hidupnya ke depan yang merupakan tingkat kemampuan untuk bertahan dan mengatasi kesulitan yang dihadapi atau yang dikenal sebagai daya juang. Daya juang ini diperkenalkan oleh Stoltz (2000) sebagai Adversity Quotient. Stoltz,et.al mengungkapkan bahwa orang yang adversity quotient-nya rendah, akan tumbuh menjadi orang yang tidak mampu bertindak kreatif. Pengembangan karakter kreatif dan berdaya juang yang kurang optimal sangat dimungkinkan dapat terjadi ketika proses pendidikan dan pengajaran yang berlangsung di kelas umumnya dilakukan sebatas text book tanpa pengembangan ilmu yang memadai. Merujuk kembali Kementerian Pendidikan Nasional (2010:3) menyatakan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Itulah sebabnya karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi (motivations), dan ketrampilan (skills), meliputi keinginan untuk melakukan hal yang terbaik. Dalam mengimplenetasikan pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri baik isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Pendidikan karakter mengajarkan kita pada kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, bernegara serta membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam karakter ini adalah tiga komponen karakter (components of good character) yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions). Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu 1) kesadaran moral (moral awareness), 2) mengetahui nilai moral (knowing moral values), 3) perspective talking, 4) penalaran moral (moral reasoning), 5) membuat keputusan (decision making), 6) pengetahuan diri (self knowledge).
Adapun fungsi pendidikan karakter adalah yakni pengembangan, perbaikan serta penyaring. Penelitian Teerakiat Jareonsttasin membuktikan ada korelasi tentang pengaruh sekolah terhadap perkembangan anak, ditemukan empat hal utama (input dan output) yang saling mempengaruhi. Yang terpenting adalah iklim atau budaya sekolah. Jika suasana sekolah penuh kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang maka hal ini akan menghasilkan output yang diinginkan berupa karakter yang baik. Pada saat yang sama, guru akan merasakan kedamaian dan suasana sekolah seperti itu akan meningkatkan pengelolaan kelas. Karena itu langkah pertama dalam mengaplikasikan pendidikan karakter di sekolah adalah menciptkan suasana atau iklim sekolah yang cocok yang berfungsi membantu transformasi guru-guru. siswa termasuk staf-staf sekolah. Menghadapi era modernisasi Iptek saat ini otak siswa tidak lagi cukup dipenuhi dengan ilmu pengetahuan, melainkan memerlukan keterampilan, kecerdasan merasa dan berhati nurani. Pada kenyataannya, dalam menghadapi kehidupan, manusia menyelesaikan masalah tidak cukup dengan kecerdasan intelektual, melainkan perlu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Mengajarkan kecerdasan emosional dan spiritual tidak cukup dilakukan dengan cara kognitif, sebagaimana mengajarkan kecerdasan intelektual. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Gerakan Literasi ekolah (GLS) berbasis pengembangan karakter memiliki relevansi dan implikasi terhadap daya juang peserta didik. Penanaman nilai-nilai karakter yang baik di lingkungan sekolah akan memacu kecerdasan emosionil dan kecerdasan spiritual siswa untuk mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dengan baik. Karena itu GLS harus dilakukan dengan berkelanjutan sebagai uopaya pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter pada siswa serta menanamkan nilai-nilai kejuangan dalam hidup mereka. Siswa berdaya juang tinggi kecenderungan untuk berhasil dalam hidupnya terbuka dengan lebar sepanjang yang bersangkutan mampu mengoptimalkan seluruh potensi yang dimilikinya. Semoga Bermanfaat.

 

Rujukan:
Chaplin, J.P. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajagrafindo Persada
Efendi, M. (2016). Modul Pelatihan Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemendikbud.
Jossberger, Helen. (2011). Toward Self Regulated Learning in Vocational Education: Difficulties and Opportunities. Heerlen: Universitaire Pers Maastricht
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Komentar