Oleh: Nelson Sihaloho
Rasional
Pesatnya perkembangan teknologi telah memberikan manfaat positif terhadap pendidikan Indonesia. Kehadiran teknologi dalam proses belajar mengajar bisa berlangsung dimanapun dan kapanpun melalui komputer, laptop atau gawai lain.
Akibat penyebaran COVID-19 yang terus meluas, hampir semua kegiatan terhenti juga membawa akibat lain terhadap dunia pendidikan. Pemerintah mengambil kebijakan melakukan pembelajaran jarak jauh. Bahkan, ada guru yang terpaksa mendatangi peserta didik ke rumah peserta didik khususnya yang tidak bisa mengakses internet.
Seiring dengan telah diberlakukannya era kenormalan baru, wacana membuka kembali sekolah di tengah pandemi corona COVID-19 pun mengemuka.
Hal tersebut menjadi polemik dan sorotan berbagai pihak karena dianggap terlalu berisiko meningkatkan penyebaran virus corona.
Era globalisasi yang terus berkembang kearah kemajuan dinamis serta perkembangan teknologi yang semakin massif menuntut pendidikan untuk terus berbenah. Sholte, Cohen, Kennedy dan Steger (dalam Ahmad Baedowi, dkk., 2015:3), globalisasi merupakan proses inkorporatisasi penduduk dunia menjadi satu warga masyarakat dunia (world citizen) dan proses percepatan internasionalisasi dari berbagai dimensi kehidupan yang menjadi terhubung melalui jaringan global. Dengan demikian, globalisasi memberi pengaruh terhadap tatanan kehidupan, seperti ekonomi, politik, budaya, teknologi, dan pendidikan. Pendidikan harus mampu menampilkan diri di era globalisasi agar mampu bersaing menghadapi tuntutan dan kesempatan dunia kerja yang semakin kompetitif. Banyak kalangan mengatakan bahwa tampilan potret pendidikan harus selaras dengan kualitas sumberdaya manusia (SDM)nya.
Bergerak Maju
William,et,al (dalam Ahmad Baedowi, dkk., 2015:3-4), menyatakan bahwa kondisi dunia pendidikan Indonesia tampaknya masih belum dapat bersanding dan bertanding sejajar dengan lembaga pendidikan negara lain, jika indikator yang digunakan adalah standar global. Stiglitz (2003), menyatakan globalisasi merupakan interdependensi yang tidak simetris antar negara, lembaga dan aktornya. Sebagaimana data dari WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan yaknI
pertama, cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-ine degree program, atau Mode 1.
Ke dua, consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri atau Mode 2.
Ke tiga, commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal., atau Mode 3.
ke empat, presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokan, atau Mode 4.
Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis. Scholte (2002) dalam Suroso (2010) menyatakan bahwa setidaknya ada lima kategori pengertian globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur. Ke lima kategori definisi tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun masing-masing mengandung unsur khas.
Pertama, globalisasi sebagai internasionalisasi, dipandang sebagai sebuah kata sifat (adjective) untuk menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara.
Semakin besar volume perdagangan dan investasi modal, maka ekonomi antar-negara semakin terintegrasi menuju ekonomi global di mana ekonomi nasional yang distingtif dilepas dan diartikulasikan kembali kedalam suatu sistem melalui proses dan kesepakatan internasional.
Ke dua, globalisasi sebagai liberalisasi, hal ini merujuk pada sebuah proses penghapusan hambatan-hambatan yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antar negara untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang terbuka dan tanpa batas.
Ke tiga globalisasi sebagai universalisasi, bahwa globalisasi digunakan dengan pemahaman bahwa proses mendunia dan globalisasi merupakan proses penyebaran berbagai obyek dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru dunia.
Ke empat, globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi bahwa globalisasi dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme) disebarkan ke seluruh penjuru dunia.
Dalam prosesnya cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak self-determination rakyat setempat.
Ke lima globalisasi sebagai penghapusan batas-batas territorial bahwa Globalisasi mendorong rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan dengan kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batasbatas teritorial.
Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses (atau serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial organisation dari hubungan sosial dan transaksi-ditinjau dari segi ekstensitas, intensitas, kecepatan dan dampaknya-yang memutar mobilitas antar-benua atau antar-regional serta jejaringan aktivitas (Scholte, 2002 dalam Suroso, 2010).
Kesiapan Generasi Milenial
Generasi milenial dan pendidikan merupakan dua konsep yang berbeda serta memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Pendidikan memerlukan SDM yang kompeten sebagai asset terhadap proses pengembangan generasi milenial. SDM yang kompeten merupakan bagian penting dalam proses pengembangan pendidikan bagi generasi milenial.
Revolusi digital yang muncul dengan menekankan pembaharuan serba teknologi lewat pola digital economy, artificial intelligence, big data dan pemakaian robot sebagai tenaga kerja. Masa sekarang generasi milenial mempunyai tantangan sendiri menghadapi era revolusi industry digital (society 5.0 dan revolusi industri 4.0). Revolusi digital mengalami puncaknya saat ini dengan lahirnya teknologi digital yang bergerak masif terhadap hidup manusia di seluruh dunia.
Dalam pendidikan, upaya pengembangan SDM hendaknya didasarkan pada prinsip peningkatan kualitas dan kemampuan kerja. Tujuan pengembangan SDM adalah meningkatkan kompetensi secara konseptual dan tehnikal, meningkatkan produktivitas kerja.
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas, meningkatkan status dan karier kerja; meningkatkan pelayanan terhadap klien, meningkatkan moral-etis serta meningkatkan kesejahteraan. Hasibuan (2007: 72-73), menyatakan terdapat dua jenis pengembangan SDM, yakni pengembangan SDM secara formal dan secara informal.
Pertama, pengembangan SDM secara formal yaitu SDM yang ditugaskan oleh lembaga untuk mengikuti pendidikan atau latihan, baik yang dilaksanakan oleh lembaga tersebut maupun lembaga diklat.
Pengembangan SDM secara formal dilakukan karena tuntutan tugas saat ini maupun masa yang akan datang. Ke dua, pengembangan SDM secara informal yaitu pengembangan kualitas SDM secara individual berdasarkan kesadaran dan keinginan sendiri untuk meningkatkan kualitas dirinya. Terdapat lima domain penting dalam pengembangan SDM bidang pendidikan, yakni profesionalitas, daya kompetitif, kompetensi fungsional, keunggulan partisipatif, dan kerja sama. Profesionalitas adalah tingkatan kualitas atau kemampuan yang dimiliki SDM dalam melaksanakan profesinya. Sedangkan profesionalisme adalah penyikapan terhadap profesi dan profesionalitas yang dimilikinya.
SDM yang profesional adalah mereka yang memiliki keahlian dan keterampilan melalui proses pendidikan dan latihan.
SDM yang memiliki daya kompetitif adalah mereka yang memiliki kemampuan ikut serta dalam persaingan. SDM yang memiliki daya kompetitif adalah mereka yang dapat berfikir kreatif dan produktif. SDM yang inovatif tidak hanya terbatas pada kemampuan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugasnya, melainkan kemampuan mencari dan menggunakan cara baru dalam menyelesaikan tugasnya.
Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk melaksanakan profesinya. Kompetensi merupakan suatu sistem pengetahuan yang terdiri atas pengetahuan konseptual, pengetahuan teknik, pengetahuan menyeleksi, dan pengetahuan memanfaatkan.
SDM unggul adalah SDM berkualitas yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan yang lainnya. SDM yang unggul dapat mencapai prestasi untuk kemajuan dirinya, lembaga, bangsa dan negara.
Terapat dua jenis SDM unggul, yakni keunggulan individualistik dan keunggulan partisipatoris. Kemampuan kerja sama (teamwork) sangat penting di era globalisasi, karena dengan kemampuan tersebut akan menjadi kekuatan potensial terhadap suatu organisasi atau institusi.
SDM yang memiliki kemampuan kerja sama harus diimbangi dengan kemampuan untuk mengembangkan jaringan-jaringan kerja sama (network). Maka untuk pengembangan SDM sebagaimana lima domain tersebut diperlukan upaya pengendalian mutu terpadu atau total quality control (TQC) dari pihak yang memiliki wewenang (authority), pada lembaga di mana SDM menjalankan tugasnya.
Pendidikan Vokasi
Pendidikan vokasi (kejuruan) harus dioptimalkan agar mampu menelorkan SDM-SDM berkualitas global. Bidang pendidikan vokasi harus menjadi andalan dan garda terdepan dalam mempersiapkan SDM untuk mengisi sector industry baru yang kelak akan muncul. Pendidikan vokasi atau dunia kerja harus benarbenar menerapkan kurikulum berbasis kerja nyata, terukur serta dapat diandalkan. Dalam dunia pendidikan, VET (Vocational Education and Training) bukan ranah yang baru bahkan jauh-jauh sebelum perang dunia ke II Amerika Serikat dan Rusia telah melakukannya.
Data BPS menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) SMK sebesar 11% di 2018. Persentase ini lebih tinggi dari SMA yang besarnya 7,95%. Ironisnya, jumlah SMK yang mencapai 14.000 dan masih terus ditambah. Dengan kondisi ini belum mampu menjawab tantangan dunia kerja. Inilah tantangan dunia pendidikan vokasi agar mampu menampilkan potret pendidikan selaras dengan SDM-nya.
Tantanga ke depan diprediksikan semakin banyak industry tidak akan mampu menyerap lulusan SMK. Solusinya mereka harus mengikuti program-program magang di luar negeri selama 2 tahun untuk meningkatkan kompetensinya. Mereka-mereka ini dipersiapkan untuk menjadi SDM-SDM andal yang mampu mengisi tenaga kerja di perusahaan kelas dunia
Menjawab tantangan era disrupsi 4.0 dunia pendidikan, dibutuhkan mindset move fast and break stuff, pentingnya kecakapan digital dipersiapkan sejak dini termasuk life skill.
Kondisi ini demikian menunjukkan bahwa produk sekolah yang diluluskan harus mampu menjawab tantangan industri 4.0. Guru harus mengurangi dominasi pengetahuan dalam pendidikan dan pembelajaran dengan harapan peserta didik mampu mengungguli kecerdasan mesin.
Pendidikan yang diimbangi dengan karakter dan literasi menjadikan peserta didik akan sangat bijak dalam menggunakan mesin untuk kemaslahatan masyarakat. Di masa Wabah Covid-19 memang untuk melatih ketrampilan para peserta didik sangat terbatas bisa dilakukan. Apalagi sistem pembelajaran yang menuntut bertatap muka langsung diganti dengan pembelajaran jarak jauh dengan teknologi tidak akan efektif. Teknologi digital dalam pembelajaran dengan e-learning juga secara signifikan mengubah pola piker peserta didik. Guru sebagai instrumen utama dari pembelajaran, instrumen pelaksana kurikulum menuntut guru untuk berpikir secara mandiri.
SDM yang unggul akan mampu menempati berbagai lini proses kompetisi yang tidak hanya unggul secara kompetensi jufa memilikI kemampuan beradaptasi tinggi.Tidak hanya soal kompetensi, era kemajuan teknologi juga memunculkan keadaan tidak terbatas dalam hal komunikasi dan akses informasi.
Pendidikan vokasi harus mampu membangun mindset global untuk mengambil kesempatan bekerja di luar negeri yang terbuka dengan lebar. Mengutip Rojewski (2009: 32) bahwa konsep pendidikan kejuruan sejak awal adalah menyediakan pendidikan dan pelatihan untuk kelas pekerja dengan keahlian secara spesifik. Termasuk pendapat Sanders (Pavlova, 2009:5) “implicit conceptualisations of vocational education are related to skill in using tools and machines”, artinya bahwa konsep pendidikan kejuruan selalu berhubungan dengan ketrampilan dalam menggunakan alat dan mesin. Begitu juga dengan pendapat Adhikary (Sudira, 2012:13) bahwa pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan ketrampilan, kemampuan/kecakapan, pemahaman, sikap, kebiasaan-kebiasaan kerja, dan apresiasi yang diperlukan pekerja dalam memasuki pekerjaan dan membuat kemajuankemajuan dalam pekerjaan penuh makna dan produktif.
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukan bahwa pengangguran dari angkatan kerja lulusan program diploma atau vokasi menunjukan kenaikan. Pada Februari 2014 angka pengangguran tercatat sebanyak 195.258 orang, Februari 2015 meningkat menjadi 254.312 orang. Februari 2016, menurun menjadi 249.362 orang, Februari 2017, naik menjadi 249.705 orang.
Berdasarkan laporan tinjauan OECD pada 2010 mengakui kekuatan dari sistem pendidikan dan pelatihan vokasi (VET) Jerman dengan sistem ganda (dual system) sebagai salah satu unggulannya. Sistem VET Jerman memiliki sejumlah keunggulan, diantaranya kualifikasi dalam spektrum profesi yang lebih luas dan fleksibel dalam penyesuaian dengan perubahan kebutuhan pasar tenaga kerja. Keunggulan ke dua, sistem ganda pendidikan vokasi Jerman mengintegrasikan pembelajaran berbasis kerja dan berbasis sekolah, dengan tujuan mempersiapkan masa transisi sebelum mahasiswa menjalani dunia kerja yang sesungguhnya.
Keunggulan ketiga adalah sumber daya yang dimiliki Jerman. Sistem pendanaan VET Jerman menggabungkan pendanaan publik dan swasta. Jerman sendiri telah mempertahankan dukungan keuangan yang kuat dan tawaran magang untuk sistem VET bahkan selama krisis ekonomi 2008. Terakhir, Jerman memiliki kapasitas penelitian VET yang dikembangkan dengan baik dan terlembaga. Institut Federal untuk VET (BIBB), misalnya, adalah salah satu upaya Jerman untuk mengembangkan sistem VET berbasis penelitian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa potret atau sosok pendidikan harus selaras dengan kemampuan sumberdaya manusianya (SDM).
Termasuk pendidikan vokasi/kejuruan yang benar-benar dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja harus selaras dengan kemampuan SDM yang dimilikinya.
(Penulis adalah: Guru SMP Negeri 11 Kota Jambi).
Rujukan:
1. Ahmad Baedowi, dkk. 2015. Potret Pendidikan Kita. Jakarta: PT Pustaka Alvabet.
2. http://izzaucon.blogspot.co.id/2014/06/tantangan-pendidikan-dieraglobal.html. yang diakses pada 27 September pukul 18.22
3. https://pengetahuanolahraga.wordpress.com/2016/02/17/tantangan-dunia pendidikan-dalam- menghadapi-globalisasi/ yang diakses pada 4 oktober 2017 pukul 16.58
4. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2018) Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2018. Diunduh dari https://apjii.or.id/content/read/39/410/Hasil-Survei-Penetrasi-dan-Perilaku-Pengguna-Internet-Indonesia-2018
5. Ford, M. (2016). Rise of the Robots: Technology and the Threat of a Jobless Future. Basic Books.
6. Global News (2018). Is generation Z glued to technology? ‘It’s not an addiction; it’s an extension of themselves’. Retrieved may 2019 from https://globalnews. ca/news/4253835/generation-z-technology-addiction/
7. Hamden, N., et al. (2013). A Review of Flipped Learning http://www.flippedlearning.org
8. Shute, V.J. & Emihovich, B. (2018), Assessing Problem-Solving Skills in Game-Based Immersive Environments. In: Voogt J., Knezek G., Christensen R., Lai KW. (Eds.) Second Handbook of Information Technology in Primary and Secondary Education. Springer International Handbooks of Education. Springer, Cham
9. WEF. (2018). Future of Jobs Reort. Retrieved March 2019 from https://www.weforum. org/reports/the-future-of-jobs-report-2018.
Komentar