Oleh: Nelson Sihaloho
Abstrak:
Seringkali kita mendengar bahwa suatu sekolah yang baik dan bermutu memiliki suatu kultur dan merupakan suatu budaya yang melekat pada sekolah tersebut. Kebudayaan sering diartikan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, 2003: 72). Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak.
Suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh suatu generas kepada generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk memeperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut (Ariefa Efianingrum, 2009: 21).
Kebudayaan adalah sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya.
Budaya kejujuran, berintergritas, berprestasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman, beriman dan bertaqwa merupakan kultur yang bisa dikembangkan oleh pihak sekolah dalam membangun karakter dan jati diri peserta didik.
Sering kita temukan fakta di lapangan bahwa suatu sekolah tidak memiliki kultur sekolah yang baik karena berbagai masalah yang mendera di dalamnya salah satu diantaranya kurang komitmen terhadap budaya kejujuran bahkan “mengakali” orang.
Diperlukan suatu komitmen bahwa lembaga pendidikan harus yang menjadi terdepan dalam menciptakan kultur sekolah yang baik.
Kata kunci: kultur, sekolah, merdeka, belajar
Sekilas Tentang Kultur
Suatu kebudayaan juga merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak hal itu termasuk juga berbagai karya yang dibuat oleh manusia. Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Setiap sekolah memiliki budaya sekolah yang berbeda dan mempunyai pengalaman yang tidak sama dalam membangun budaya sekolah. Perbedaan pengalaman inilah yang menggambarkan adanya “keunikan” dalam dinamika budaya sekolah.
Kondisi ini adalah normal sebagaimana Bare (Siti Irene Astuti D, 2009 : 119-120) yang menyatakan bahwa ada beberapa karakteristik dari pendekatan antropologi dalam memahami dalam budaya sekolah meliputi: “a unique mixing of ethnicity, values, experience, skills, and asporation: special rituals and ceremonies: unique history of achievement and tradition: unique socio-economic and geographic location”.
Mengutip Siti Irene Astuti D, (2009: 74) menyatakan bahwa budaya sekolah menyebabkan perbedaan respon sekolah terhadap perubahan kebijakan pendidikan, dikarenakan ada perbedaan karakteristik yang melekat pada satuan pendidikan, selain itu budaya sekolah juga mempengaruhi kecepatan sekolah dalam merespon perubahan tergantung kemampuan sekolah dalam merancang pelayanan sekolah. Budaya sekolah juga memperngaruhi kecepatan sekolah dalam merespon perubahan tergantung kemampuan sekolah dalam merancang pelayanan sekolah.
Deal dan Kennedy (Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003: 3) mendefinisikan kultur sekolah sebagai keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di sekolah, sekolah dapat saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur dominan dan sejumlah kultur lainnya sebagai subordinasi.
Sejumlah keyakinan dan nilai disepakati secara luas di sekolah, sejumlah kelompok memiliki kesepakatan terbatas di kalangan mereka tentang keyakinan dan nilai-nilai. Stolp dan Smith (Moerdiyanto, 1995: 78-86) menyatakan bahwa kultur sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang berhasil baik serta dianggap valid dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang dianggap benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. Schein (Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003 :3-4), kultur sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut.
Intinya kultur sekolah dapat diartikan sebagai kualitas internal-latar, lingkungan, suasana, rasa, sifat dan iklim yang dirasakan oleh seluruh orang. Kultur sekolah dapat diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah sekolah yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spirit dan nilai-nilai sebuah sekolah.
Biasanya kultur sekolah ditampilkan dalam bentuk bagaimana kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya bekerja, belajar dan berhubungan satu sama lainnya sehingga menjadi tradisi sekolah. Karena itu, bagi sekolah dalam membangun disiplin di sekolah sampai saat ini masih menjadi problem utama. Kesulitan sekolah untuk membangun budaya disiplin menjadi program pokok yang terus menerus diupayakan oleh sekolah. Bahkan pekerjaan mendisiplinkan masih menjadi tugas keseharian yang harus dilakukan oleh pihak sekolah. Kesulitan menanamkan disiplin belajar, karena sekolah belum berhasil untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya belajar.
Perbaiki Mutu Sekolah
Kultur sekolah diharapkanampu mmemperbaiki mutu sekolah, kinerja di sekolah dan mutu kehidupan yang diharapkan memiliki ciri sehat, dinamis atau aktif, positif, dan profesional. Sekolah perlu memperkecil ciri dengan bentuk tanpa kultur anarkhis, negatif, beracun, bias dan dominatif. Kultur sekolah sehat memberikan peluang sekolah maupun terhadap warga sekolah berfungsi secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki semangat tinggi serta mampu terus berkembang. Beberapa kultur yang dapat dikembangkan di sekolah yakni prestasi dan kualitas seperti semangat membaca dan mencari referensi, keterampilan siswa mengkritisi data dan memecahkan masalah hidup, kecerdasan emosional siswa, keterampilan komunikasi siswa, baik itu secara lisan maupun tertulis serta kemampuan siswa untuk berpikir obyektif dan sistematis. Kemudian kehidupan social seeprti nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan, nilai-nilai keterbukaan, nilai-nilai kejujuran, nilai-nilai semangat hidup, nilai-nilai semangat belajar, nilai-nilai menyadari diri sendiri dan keberadaan orang lain, nilai-nilai untuk menghargai orang lain, nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai untuk selalu bersikap dan berprasangka positif. nilai-nilai disiplin diri, nilai-nilai tanggung jawab, nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai saling percaya serta nilai-nilai yang lain sesuai kondisi sekolah. Sekolah perlu menyadari secara serius mengenai keberadaan aneka kultur subordinasi yang ada seperti kultur sehat dan tidak sehat, kultur kuat dan lemah, kultur positif dan negatif, kultur kacau dan stabil dan konsekuensinya terhadap perbaikan sekolah.
Dinamika kultur juga dapat menghadirkan konflik khususnya berkaitan dengan kepentingan-kepentingan pihak terkait seperti “lahan basah” di sekolah biasanya berhubungan degan kepentingan orang yang mengelolanya. Karena itu Kepala sekolah sebagai sentral pengembangan kultur sekolah harus dapat menjadi contoh dalam berinteraksi di sekolah. Kepala sekolah adalah figur yang memiliki komitmen terhadap tugas sekolah, jujur dalam kata dan perbuatan, dan selalu bermusyawarah dalam membuat kebijakan sekolah, ramah, dan menghargai pendapat orang lain. Selain itu, kepala sekolah merupakan model bagi warga sekolah. Itulah sebabnya para pemimpin di dunia pendidikan harus lebih terlibat dalam upaya membentuk sekolah yang tanggap terhadap kebutuhan yang muncul dalam komunitas dan masyarakat, tidak hanya yang berkaitan dengan perubahan konteks dunia kerja maupun pekerjaan, tetapi juga memperhatikan masalah
politis, kultural, dan perubahan sosial yang berlangsung (Starratt, J Robbert, 2007: 13). Mengutip Bush & Middlewood, dalam buku (Raihani, 2010: 3)
kepemimpinan memegang peranan sangat penting dalam pengembangan sekolah secara keseluruhan. Teori-teori dan praktik-praktik terkini dalam pendidikan menunjukkan adanya perhatian besar pada bidang kepemimpinan sekolah.
Perhatian ini sejalan dengan era yang ditandai dengan perubahan-perubahan dramatis dalam berbagai bidang kehidupan, yang tak terelakkan lagi berpengaruh pada pendidikan. Di era perubahan global, industry 4.0 dan Socety 5.0, kepemimpinan sangat penting dalam memandu peningkatan prestasi dan perkembangan sekolah. Untuk membangun kultur, kepala sekolah harus memberi perhatian terhadap aspek informal, aspek simbolik, dan aspek yang tak tampak dari kehidupan sekolah yang membentuk keyakinan dan tindakan tiap warga sekolah.
Tugas kepala sekolah adalah menciptakan atau membentuk dan mendukung kultur yang diperlukan untuk menguatkan sikap yang efektif dalam segala hal yang dikerjakan di sekolah. Mengutip Cunningham & Gresno (1995) apabila sikap ini timbul dan didukung oleh kultur, semua aspek lain akan berjalan beriringan. Oleh karena itu, pembangunan kultur merupakan kunci kesuksesan organisasi.
Merdeka Belajar
Merdeka belajar sering diartikan dengan memberikan kebebasan terhadap guru dalam memilih metode pembelajaran terhadap siswanya sehingga tujuan belajar yang ingin dicapai dapat berhasil dengan maksimal. Mengutip Lang dan Evans (2006: 3) secara lebih gamblang menyatakan bahwa penciptaan program pendidikan bermutu dapat didasarkan atas esensi-esensi program pendidikan guru.
Menjadikan guru yang berkualitas guna menunjang pembentukan pendidikan bermutu tidak sebatas bergatung pada program pendidikan guru yang ditempuhnya.
Pengembangan kualitas guru sesungguhnya adalah terletak pada kemauan dan kemampuan guru untuk mengembangkan dirinya ketika mereka sudah menduduki jabatan guru. Minimal ada lima kapabilitas yang harus terus menerus dibangun guru dalam rangka mengembangkan kualitasnya (Darling-Hammond. et.al. ,1999; Nicholss, G., 2002, dan Lang dan Evans, 2006). Pertama yang harus terus dibangun guru adalah konten pengetahuan yang ia ajarkan, ke dua adalah tingkat konseptualisasi, ke tiga berhubungan dengan kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Ke empat adalah komunikasi interpersonal serta ke lima adalah kapabilitas ego. Kapabilitas ini berhubungan dengan usaha mengetahui diri sendiri dan usaha membangun responsibilitas diri terhadap lingkungan.
Aspek lain yang penting dalam rangka membangun kualitas guru adalah usaha mewujudkan guru sebagai peneliti. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa guru harus mampu merefleksi diri dan kinerjanya. Melalui usaha ini guru akan mengetahui kekuranganya dan sekaligus mampu memperbaikinya. Melalui penelitian yang dilakukan guru, pembelajaran yang dilaksanakan akan lebih efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan penelitian di dalam kelas merupakan upaya meningkatkan kualitas pendidik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi saat menjalankan tugasnya akan memberi manfaat positif ganda. Pertama, peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata. Ke dua, peningkatan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Ke tiga, peningkatan keprofesionalan pendidik dan ke empat, penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian. Pada akhirnya kultur sekolah dalam perspektif merdeka belajar hanya bisa dicapai serta terwujud apabila konsep “merdeka belajar” di sekolah benar-benar diterapkan dengan poa kebebasan yang bertanggungjawab bukan dengan pola bebas “mengakali peraturan ataupun mengakali orang” dengan penuh intrik-intrik yang mengarah pada meruncingnya konflik dalam lingkungan sekolah.
(dihimpun dari berbagai sumber: penulis adalah guru SMPN 11 Kota Jambi).
Komentar