Bungonews.net ,Bungo – Fenomena proyek revitalisasi sekolah kerap menimbulkan polemik, salah satunya menyangkut kewenangan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sekolah. Dalam sejumlah kasus di lapangan, Plt diduga ikut menandatangani kontrak proyek revitalisasi, padahal secara hukum tidak memiliki kewenangan penuh.
Secara normatif, Plt hanya diberi mandat untuk mengurus hal-hal administratif dan menjaga keberlangsungan kegiatan pendidikan. Plt bukanlah pejabat definitif yang dapat mengambil keputusan strategis, apalagi mengikat sekolah dengan kontrak bernilai miliaran rupiah. Jika hal ini dibiarkan, maka bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga bisa menimbulkan konsekuensi hukum serius.
Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah dengan jelas menegaskan bahwa kewenangan kepala sekolah melekat pada jabatan definitif. Begitu pula, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menekankan bahwa pejabat pelaksana tugas tidak boleh mengambil keputusan yang berdampak hukum jangka panjang.
Contoh di lapangan, kasus revitalisasi di SMK Negeri 8 Bungo,kontrak revitalisasi sekolah terpaksa dialihkan ke kepala sekolah defenitif lantaran PLT tidak memililki wewenang dan diberhentikan dari plt kepala sekolah sebagaimana di publikasi di media Bungonews sebelunnya
Hal serupa juga terjadi di beberapa sekolah penerima revitalisasi di kabupaten Bungo
Menariknya ketika dikonfirmasi salah satu plt kepala sekolah justeru mengaku memiliki kewenangan dalam menanda tangani dan mengelola dana bantuan revitalisasi di sekolahnya ” Selaku PLT kepala sekolah saya berwenang menanda tangani kontrak revitalissi dan kegiatan lainnya termasuk dana BOS , yang tidak punya kewenangan itu PLH kepala sekolah pak ” Tutur kepala satuan pendidikan di Bungo dengan nada agak ragu
Artinya, jika ada Plt yang menandatangani kontrak revitalisasi sekolah, maka kontrak tersebut cacat hukum dan berpotensi batal demi hukum. Bahkan, Plt berisiko terseret pada jerat penyalahgunaan wewenang yang bisa berujung pada sanksi pidana apabila terbukti merugikan keuangan negara.
Dalam konteks ini, Dinas Pendidikan dan pihak terkait wajib bersikap tegas. Jangan sampai alasan “Plt” dijadikan tameng untuk praktik asal tanda tangan atau bahkan penyalahgunaan proyek. Kontrak proyek revitalisasi seharusnya hanya ditandatangani oleh kepala sekolah definitif atau pejabat berwenang yang ditunjuk secara resmi.
Kasus di SMK Negeri 8 Bungo menjadi alarm agar semua pihak berhati-hati. Plt tidak boleh dipaksa menjadi stempel proyek, sementara hukum dan aturan dilanggar. Jika praktik ini terus dibiarkan, maka revitalisasi sekolah bukan hanya gagal meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga membuka ruang korupsi dan manipulasi anggaran ( BN )
Komentar