Era Society 5.0 dan “Local Genius 6.0”

Oleh: Nelson Sihaloho

Surachmad (1986) memperingatkan ”.bahwa ilmu kependidikan yang tidak lahir dan tidak tumbuh dari bumi yang diabdinya tidak akan pernah mampu melahirkan potensi untuk menangani masalah yang tumbuh di bumi ini”.
——————————————————–
Abstrak:
Semua negara di dunia kini tengah menghadapi era digital society 5.0 termasuk Indonesia. Hal ini membuat sumber daya manusia (SDM) di berbagai lini dituntut untuk memiliki keunggulan agar tak kalah bersaing antara satu sama lain.

Zaman dan ilmu pengetahuan terus bergerak maju seiring dengan kehidupan dan peradaban umat manusia. Teknologi baru pada industry 4.0 mengintegrasi dunia digital, fisik, dan biologis serta mempengaruhi semua bidang kehidupan manusia termasuk dunia pendidikan. Negara kita kaya dengan nilai-nilai budaya dan kearifan local Kearifan lokal atau local genius merupakan hasil kecerdasan masyarakat tertentu dalam menghadapi tantangan kehidupan yang diperoleh melalui pengalaman hidup. Mengutip Koentjaraningrat (2009) mengategorisasikan kebudayaan manusia yang menjadi wadah kearifan lokal kepada idea, aktifitas sosial, dan artifak. Menghadapi Era Society 5.0 kita harus bergerak lebih maju ke depan dengan mengedepankan keunggulan nilai-nilai kearifan lokal yang kita miliki dengan “Local Genius 6.0”,.
Kata kunci: era society 5.0 dan “local genius 6.0,”.

Kearifan local dan perkembangan zaman
Pendidikan sebagai bidang kehidupan yang menggerakkan sistem regulasi transfer of knowledge, transfer of value, mendidik manusia untuk mengembangkan potensi dirinya agar lebih beradab, up to date terhadap situasi dan kondisi perkembangan zaman. Society 5.0 merupakan konsep teknologi masyarakat yang berpusat pada manusia yang berkolaborasi dengan sistem teknologi (Artificial Intelligent dan Internet of Things) untuk menyelesaikan masalah sosial yang terintegrasi dalam dunia maya dan dunia nyata. Manusia tidak hanya menjadi objek teknologi, akan tetapi menjadi subjek pengendali dari kemajuan ilmu dan teknologi (human centered society).
Sebagaimana kita ketahui bahwa istilah industri 4.0 secara resmi lahir di Jerman saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011, (Kagermann, 2013).

Program tersebut sebenarnya merupakan rencana pembangunan negara Jerman yang diberi nama High-Tech Strategy 2020 dimana kebijakan tersebut dipilih supaya Jerman selalu menjadi terdepan dalam hal manufaktur (Heng, 2014).
Kemudian konsep society 5.0 diprakarsai oleh Jepang dengan program menjadikan manusia sebagai pusat pengendali teknologi. Mengutip Mayumi Fukuyama pada laman Japan Economic Foundation menulis artikel, tujuan penerapan society 5.0 adalah untuk mewujudkan tempat dimana masyarakat dapat menikmati hidupnya dengan bantuan teknologi.

Teknologi dan inovasi pada society 5.0 akan dimanfaatkan untuk membantu dan memajukan masyarakat, bukan untuk menggantikan peran manusia.
Indonesia yang kaya dengan kearifan local dengan nilai-nilai luhur yang bisa dipetakan kedalam beberapa bentuk, antara lain; kearifan lokal dalam bentuk cerita rakyat, bentuk peribahasa, lagu dan permainan, bentuk kegiatan, dan bentuk adat istiadat.

Peran dan fungsi kearifan lokal antara lain; untuk konservasi dan pelestarian sumber daya manusia, pengembangan sumber daya manusia, kepercayaan, sebagai sarana membentuk dan membangun integrasi komunal, sebagai landasan etika dan moral, dan fungsi politik.

Pergerakan perubahan dunia yang cepat dan dahsyat menjadi penanda lahirnya era baru dalam tatanan kehidupan umat manusia. Era ini dikenal sebagai era kesejagatan (globalisasi) dengan segala capaian dan problematikanya. Capaian tertinggi pada era globalisasi ini dapat dilihat dari semakin terbuka dan cepatnya akses informasi dan komunikasi serta berbagai kemudahan fasilitas manusia sebagai hasil dari kemajuan sains dan teknologi (Blondel,1998:13).

Begitu juga dengan revolusi Industri 4.0, sedikit banyak telah memberikan dampak pada budaya lokal. Kebudayaan lokal tentunya harus eksis sebab menjadi modal penting untuk pembangunan nasional.
Perlu adanya pemahaman tentang nilai kearifan lokal tradisi sehingga memberi fondasi dalam keberlanjutan tatanan kehidupan yang akan datang. Salah satu upaya diantaranya untuk membangun karakter bangsa adalah mentransformasi nilai-nilai budaya lokal ke dalam berbagai bentuk, baik sejak sektor hulu melalui pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal hingga sektor hilir dengan melahirkan kebijakan yang bisa membuat regulatif dan praktis terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Revolusi Industri 4.0 yang ditandai penggunaan teknologi komunikasi secara masif, semestinya tidak mengabaikan potensi kearifan lokal. Pembangunan yang mengabaikan kearifan lokal, dinilai tidak akan berhasil mengatasi persoalan kemiskinan.

Proses mendunianya sistem kehidupan yang akan mengarahkan pada budaya tunggal sejagat, akan mengarahkan sistem kehidupan dunia seperti menjadi tanpa tapal batas (the borderless world) dengan berbagai bentuk penyeragaman.

Fenomena riil yang terjadi dengan pesatnya proses globalisasi yakni dengan lahirnya generasi gadget dan menandai munculnya era generasi millenial. Mengutip John Naisbit (2002: 25) menyebutnya sebagai era high tech high touch yang menjadikan berbagai alat high-technology menjadi bagian penting dalam kehidupannya.

Krisis Global
Menurut Jefery Sachs (Ali,2009:47), penduduk dunia terkategori menjadi tiga kelompok berdasarkan penguasaan sains dan teknologi. Pertama, sekitar 15% sebagai technological innovators (pelaku inovasi teknologi, kelompok negara-negara maju), ke dua, kurang lebih 50% sebagai technological adopters (pengadopsi teknologi, kelompok negara berkembang), dan ke tiga, sekitar 35% sebagai technologically excluded (dikeluarkan dari kategori menguasai teknologi, kelompok negara-negara miskin dan terbelakang). Hilangnya nilai-nilai kamanusiaan (dehumanisasi) sebagai akibat dari begitu dominannya teknologi dalam mengatur manusia, ter-alienasi-nya manusia dari kehidupannya akibat dari hilangnya hubungan diantara manusia, terjadinya kehampaan batin atau spiritual (Nesbit, 2002: 25) sebagai akibat kehidupan dikendalikan oleh teknologi.

Fenomena krisis sebagaimana diuraikan itu, oleh Fritjof Capra (2000: 3) dikatakan bahwa saat ini tengah terjadi krisis global, suatu krisis kompleks dan multidimensional yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Krisis-krisis itu terjadi akibat dominasi dimensi intelektual atas dimensi moral dan spiritual sebagai ekses (dampak negatif) yang ditimbulkan oleh modernisasi (Nashir, 1997:3).

Terdapat beberapa kecenderungan orientasi masyarakat dewasa ini sebagai kondisi budaya masyarakat era millenial yang mengalami “disorientasi” (Mastuhu, 2007: 53-68). Diantaranya mendahulukan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan umum, masyarakat saat ini lebih suka berorientasi pada uang, harta benda, atau kekayaan materi lainnya untuk kepentingan sendiri, keluarga atau kelompoknya dari pada untuk umum. Berorientasi kerja jangka pendek bukan berorientasi jangka panjang, munculnya budaya instan dan aji mumpung.

Kemudian tidak disiplin dalam waktu , terkotak dalam dinding pemisah, kantor atau instansi semata dijadikan sebagai tempat mencari uang bukan tempat pembelajaran. Munculnya konsep utang, konsep keunggulan, berkepribadian non produktif, mengutamakan kebenaran normatif-formal.

“Local Genius 6.0”
Pada awal tahun 1952, Kroeber dan Kluckhonk mencatat ada 164 definisi budaya dalam literatur antropologi. Diantara definisi budaya diajukan oleh Marsella yakni: perilaku yang dipelajari yang ditularkan dari satu generasi ke generasi dengan tujuan mempromosikan kelangsungan hidup individu dan sosial, adaptasi, pertumbuhan dan pembangunan.

Budaya memiliki dimensi eksternal (seperti artifak, kelembagaan) dan representasi internal (misalnya nilai-nilai, sikap, keyakinan, gaya kognitif/afektif/sensorik) (Samovar & Porter, 2001: 33).
Sebagai proses enkulturasi, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang.

Nilai-nilai dan prestasi itu sebagai kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Ada beberapa cara belajar nilai-nilai budaya suatu masyarakat yakni (Samovar & Porter, 2001: 36-40) yakmi, belajar budaya melalui peribahasa atau pepatah, belajar budaya dari cerita rakyat, legenda, dan mitos, belajar budaya melalui seni serta belajar budaya melalui media masa (mass media)

Akselerasi informasi gelombang globalisasi membawa perubahan cukup signifikan terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya, baik itu pada tataran surface structure (sikap dan pola-pola perilaku) dan deep structure (sistem nilai, pandangan hidup, filsafat dan keyakinan). Perubahan sosial budaya terjadi karena adanya kontak budaya antar negara.

Kontak budaya dapat dimaknai sebagai pertemuan antara nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama yang saling mendominasi dan sangat berpengaruh dalam tataran surface structure, yakni pada sikap dan pola-pola perilaku, serta dalam tataran deep structure yaitu pada perubahan sistem nilai, pandangan hidup, filsafat, dan keyakinan.

Ritzer (2007:598) menggambarkan, bahwa perubahan nilai terjadi karena pengaruh perpindahan orang (ethnoscape), media informasi (mediascape), teknologi yang dibawa atau yang dapat dilihat (technocape), terjadinya aliran kepemilikan modal (financesscape), dan ideologi-idiologi (ideoscapes) baik yang dibawa, diinformasikan, maupun yang dapat diadopsi.

Dalam konteks praktek pendidikan, Zuchdi (2008) menyebutkan bahwa pendidikan bukan hanya sekadar menumbuhkan dan mengembangkan keseluruhan aspek kemanusiaan tanpa diikat oleh nilai, akan tetapi nilai itu merupakan pengikat dan pengarah proses pertumbuhan dan perkembangan manusia.

Kendati globalisasi menciptakan banyak kesempatan untuk berbagi pengetahuan, teknologi, nilai-nilai sosial, dan norma perilaku yang mempromosikan perkembangan individu, organisasi dan masyarakat, nilai-nilai lokal tetap harus menjadi basis penyaring dan memiliki keunggulan dan mampu bertahan dalam krisis.

Nilai-nilai budaya harus kita manfaatkan secara sadar dalam proses Pendidikan menjadi “Local Genius 6.0”. Apabila Jepang mampu menggulirkan dan mempopulerkan keunggulan mereka dengan Era Society 5.0, maka Indonesia dengan konsep keunggulan “Local Genius 6.0”. Konsep “Local Genius 6.0”, merupakan sebuah upaya dan langkah Indonesia menjadi bangsa yang Maju, Unggul dalam karakter dengan mengedepankan prinsip-prinsip budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang lestari sepanjang masa.

(dihimpun dari berbagai sumber: Penulis Guru SMPN 11 Kota Jambi).

Komentar